Makalah disusun oleh: Fitri Sa'banniah, Zainuddin, Mu'alli
Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Fiqh
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang
sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu
yang muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara esensial, fiqih sudah
ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri.
Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan
kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati, dengan
bersumber pada Al Qur’an sebagai al wahyu al matludan sunnah sebagai alwahyu
ghoiru matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring
dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah
hukum melalui jalan istimbat.
Generasi penerus Nabi Muhammad SAW tidak hanya
berhenti pada masa khulafa’urrosyidin, namun masih diteruskan oleh para tabi’in
dan ulama’ sholihin hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Perkembangan
ilmu fiqih, bisa kita kualifikasikan secara periodik sesuai dengan kesepakatan
para ulama. Yaitu ada empat, diantaranya : Pertama adalah masa kemunculan dan
pembentukan dasar-dasar islam, perode ini mencakup masa Nabi SAW dan bisa juga
disebut sebagai masa turunnya al Quran atau wahyu. Kedua adalah masa
pembangunan dan penyempurnaan, pada periode ini mencakup masa sahabat dan
tabi’in hingga pertengahan qurun ke empat hijriyah. Yang ke tiga adalah masa
taqlid dan jumud, pada periode ini berkisar antara pertengahan abad ke empat
hingga abad ke tiga belas hijriyah. Keempat adalah masa kebangkitan, periode
ini berkisar dari abad tiga belas hingga sekarang.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa
sumber hukum pada periode tadwin?
b.
Bagaimana
pengaruh tasyri’ yang diwariskan pada periode tadwin?
c.
Apa
penyebab terhentinya gerakan ijtihad?
d.
Apa
klasifikasi mujtahid?
e.
Bagaimana
kondisi awal masa renaissance (kebangkitan kembali) dan tanda-tanda
kemajuan ?
C.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui:
a.
Sumber
hukum pada periode tadwin
b.
Pengaruh
tasyri’ yang diwariskan pada periode tadwin
c.
Penyebab
terhentinya gerakan ijtihad
d.
Klasifikasi
mujtahid
e.
Kondisi
awal masa renaissance (kebangkitan kembali) dan tanda-tanda kemajuan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Periode Tadwin/kodifikasi ( 101 – 350 H / 720 – 971 M)
Yaitu periode
pembukuan dan munculnya para imam mujtahid, dan zaman perkembangan serta kedewasaan
hukum, yang berlangsung selama 250 tahun, yaitu terhitung mulai tahun 100-350 H
(720-971 M).
a.
Sumber
Hukum pada periode tadwin
Sumber-sumber hukum Islam pada periode pembukuan ini ada 4:
1.
Al-Quran
2.
Sunnah
3.
Ijma’
4.
Ijtihad
dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu dari metode istimbat.
Kalau seorang
mufti mendapatkan ketetapan hukum suatu masalah dalam al-Quran atau sunnah,
maka dia harus berpedoman kepada ketetapan nas tersebut. Dan kalau tidak mendapatkan
ketetapan hukumnya dalam al-Quran dan sunnah, namun dia mengetahui ketetapan
hukumnya berdasarkan ijma’ para mujtahid, maka dia harus berpegang dan memberi
fatwa hukum berdasarkan ijma’ tesebut. Selanjutnya kalau tidak mendapatkan
ketetapan hukum suatu masalah dalam al-Quran dan sunnah dan tidak ada juga
ketetapan ijma’ ulama, maka barulah ia berijtihad dan beristimbat dengan metode
istimbat sesuai yang ditunjukkan syariat.1
1Khallaf, Abdul Wahab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.81-82
Beberapa usaha di seputar
sumber-sumber hukum
Pada periode
ini ada dua usaha dalam rangka memelihara dan menjaga kemurnian al-Quran
sebagai sumber hukum islam yang pertama dari segala macam perubahan. Usaha yang
dimaksud adalah :
1.
Umat
islam menjaga dan memelihara al-Quran dengan menghafal seluruh al-Qur’an 30
juz.
2.
Usaha
perbaikan bentuk al-Quran dan pemberian baris pada huruf-hurufnya. Usaha ini
dilakukan karena musahaf yang sudah dibukukan pada zaman Usman bin Affan yang
kemudian disalin kembali dan diperbanyak menjadi beberapa naskah mushaf, lalu
dikirim ke berbagai kota besar umat Islam adalah ditulis dengan gaya tulisan
kufi tanpa titik dan baris sedangkan pedoman dalam membacanya adalah
berdasarkan penerimaan dari para penghafal al-Qur’an.
Setelah banyak
orang-orang non Arab masuk Islam, maka muncul kekhawatiran oleh sebagian para
pembaca al-Qur’an akan terjadi kesalahan atau campur aduk dalam membaca khat
dalam al-Quran. Dengan melihat kenyataan ini menjadi masalah, maka Abu al-Aswad
al-Dualy (67 H/688 M) atas intruksi gurbenur Irak Ziyad bin Abihi, membuat tanda-tanda
baris di akhir tiap-tiap kalimat sebagai berikut :
-
Tanda
fathah dengan satu titik di atas huruf
-
Tanda
kasrah dengan satu titik di bawah huruf
-
Tanda
dhammah dengan satu titik di samping huruf
-
Tanda
tanwin dengan dua ttik di atas huruf.
Kemudian selanjutnya Khalil bin
Ahmad berusaha merevisi tanda-tanda tersebut
dengan menjadikan sebagai berikut :
-
Tanda
fathah dengan alif yang dibaringkan di atas huruf
-
Tanda
kasrah dengan ya di bawah huruf
-
Tanda
dhammah dengan wawu di atas huruf
Usaha
selanjutnya oleh Nashar bin Ashim (84 H/ 707 M) meletakkan titik-titik pada
huruf yang semestinya diberi titik dengan satu atau dua titik atas instruksi
gurbernur Irak al-Hajjaj bin Yusuf.
Adapun mengenai
sumber hukum yang kedua yaitu sunnah, juga telah ada usaha yang berkaitan
dengannya pada awal periode ini. Adalah khalifah Umar bin Abdal-Aziz (99-101 H
/ 717-720 M) pada awal pemerintahannya mengirim surat kepada gubernur Madinah,
Abu Bakar Muhammad bin Umar bin Hazm (117 H/735 M) agar segera mengumpulkan
hadis-hadis Rasulullah SAW. dan membukukannya. Isi surat tersebut adalah:
“Carilah hadis-hadis Rasulullah SAW.
Lalu tulis, sebab aku khawatir akan hilangnya ilmu dan habisnya ulama”.
Dan tugas pentadwinan ini dibebankan
kepada Muhammad bin Syihabal-Zuhry (124 H/742 M).
Pada periode
inilah dimulai pembukuan atau pentadwinan (kodifikasi) hadis sebagai sumber
hukum kedua, setelah selama abad pertama hijriah hadis-hadis masih bertebaran
dan berada termasuk orang yang membukukan pada tahap pertama dalam periode ini
adalah imam Malik bin Anas di Madinah, Sufyan At-Tasyuri di Kufah dan lainnya.
Hal ini berlangsung sekitar tahun 140 H/757 M. Pada kitab-kitab mereka hadis
masih bercampur dengan kata-kata sahabat dan tabi’in sebagaimana yang kitab
Al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas (179 H/798 M) atas instruksi khalifah
Abu Ja’far al-Mansur.
Pada tahap
kedua hadis mulai dipisahkan dari kata-kata orang lain, yaitu pada permulaan
tahun 200 H mereka menulis kitab yang dikenal dengan nama Musnad. Musnad adalah
nama kitab hadis yang hadis-hadisnya ditulis dan dihimpun berdasarkan urutan
dari periwayatnya, missal khusus riwayat Umar, riwayat Abu Bakar, dan lain-lain,
bukan berdasarkan topik atau materi kandungan hadis itu. Kitab-kitab Musnad
antara lain Musnad Abdullah bin Musa al-Kufiy, Musnad Mudaddad bin Madrahah
al-Basriy, Musnad Ahmad bin Hambal dan lainnya. Dari musnad-musnad tersebut
yang sampai ketangan kita adalah Musnad
Ahmad bin Hambal.
Pada tahap
berikutnya terdapat dua imam besar tokoh sunnah, yaitu Abu Abdullah Muhammad
bin Ismail al-Bukhariy (256 H/870 M) dan Muslim bin Hajjaj al-Naisabury (261
H/875 M) menyusun dua buah kitab hadis yang berkualitas shahih al-Bukhariy dan
Shahih Muslim. Dua kitab inilah menandai puncak era kodifikasi atau pembukuan
hadis.
b.
Pengaruh
Tasyri’ yang Diwariskan pada Periode Tadwin
Pengaruh
Tasyri’ (perundang-undangan) yang paling penting yang telah diwariskan oleh
periode tadwin atau periode kodifikasi
atau pembukuan ini, ada 3:
1.
Adanya
hadis-hadis shahih yang telah dibukukan, baik pembukuannya secara sistem musnad
ataupun pembukuan dan penghimpunannya berdasarkan bab-bab fikih. Para ulama
sangat optimis dan berlomba-lomba dalam menghimpun dan meneliti hadis serta menyusun
biografi para periwayat hadis.
2.
Pembukuan
fikih, hukum-hukumnya, dan pengumpulan masalah-masalah yang berkaitan dengan
satu obyek dengan sesuatu yang lain, penyelidikan kualitas hukum, dan
istidlal-nya yakni cara menggunakan dalil dalam menetapkan hukum. Pada periode
ini wilayah kekuasaan pemerintahan Islam sudah sangat luas, kebudayaannya sudah
sangat berkembang dan maju, dan diasana banyak peristiwa baru yang belum ada
ketetapan hukumnya secara jelas dalam al-Quran dan hadis. Oleh karena itu pada
periode ini arena dan gelanggang ijtihad sangat luas bagi para imam mujtahid.
Mereka berijtihad dengan metode istimbat (menetapkan) hukum mengenai masalah
yang tidak ada ketetapa nasnya. Metode mereka dalam berijtihad dan mengkaji
berbagai persoalan baru yang terjadi ditengah mereka banyak dipengaruhi oleh
orang-orang non-Arab yang telah masuk islam. Mereka dipengaruhi oleh berbagai
disiplin ilmu pengetahuan yang ditransfer dari bangsa-bangsa lain ke tangan
umat islam (misalnya melalui gerakan penerjemahan buku-buku filsafat, dan
lain-lain dari Yunani ke bahasa Arab) pada pertengahan abad 2 H / 9 M dimasa
kekhalifahan al-Ma’mun.
Pada
periode ini, sudah dibukukan ensiklopedi hukum
3.
Pembukuan
Ilmu Ushul Fiqh. Pada periode ini ilmu ushul fiqih sudah dibukukan dan setiap
imam mujtahidlah yang meletakkan ushul
fiqih dan dasar-dasarnya yang merupakan landasan dan sandaran dalam melakukan
aktivitas ijtihad. Dan setiap imam mujtahid berusaha mensosialisasikan
prinsip-prinsip dan ushul fiqihnya pada berbagai hukum yang mereka tetapkan.
Imam Malik (197 H/798 M) dalam berbagai pembahasannya dalam kitab al-Muwaththa’
menunjukkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah tasyri’nya.
B.
Periode
Taqlid/Masa Kemunduran/Jumud (dimulai pada pertengahan 450 H – 1300 H)
Periode ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai
penutupan periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Mula-mula masa
kemunduran dalam bidang kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan
hukum Islam atau Fiqih Islam. Pada umumnya, ulama yang berada di masa itu sudah
lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagiamana dilakukan
oleh para pendahulu mereka pada kejayaan seperti disebut diatas.
Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya
itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran
Islam langsung dari sumber aslinya Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya
dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan kepada
tingkat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang
mengantarkan Dunia Islam kea lam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam
pikiran yang jumud dan statis.
a.
Penyebab
Terhentinya Gerakan Ijtihad
Disamping kondisi sosial politik tersebut, beberapa faktor lain
berikut ini kelihatannya ikut mendorong lahrnya sikap taklid dan
kemunduran. Faktor-faktor tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang
antara satu dengan yang lainnya saling bermusuhan. Perpecahan ini menyebabkan
mereka sibuk memfitnah, memasang berbagai perangkap, tipu daya dan pemaksaan
dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan. Situasi dan kondisi seperti ini
melahirkan masa krisis umum sehingga semangat keilmuan dan kesenian menjadi
lemah dan pudar. Dan krisis ini mempengaruhi terhentinya gerakan ijtihad
pembentukan hukum
2. Pada periode ketiga para imam mujtahid terpolarisasi dalam beberapa
golongan. Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai
khittah tersendiri pula. Dan setiap aliran hukum ini mempunyai pengikut dan
kader-kader yang berusaha mencurahkan segenap perhatiannya dalam rangka membela
dan memenangkan mazhabnya masing-masing, serta ushul fikih dan cabang-cabangnya
dengan berbagai cara. Misal, mazhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi
yang melegitimasi kebenaran mazhabnya sambil mengedepankan kekeliruan mazhab
lain yang dinilai bertentangan dengan mazhabnya.
Disamping
itu, juga adakalanya dengan cara menyanjung-nyanjung para tokoh ulama dan
pemimpin mereka serta menonjol-nonjolkan kemampuan dan kehebatan mereka.
Kondisi inilah yang membuat para ulama mazhab sibuk dan membelokkan mereka dari
dasar-dasar pokok tasyri’ yaitu al-Quran dan sunnah. Dan tak seorangpun
diantara mereka yang mau merujuk kepada al-Quran dan hadis kecuali untuk
memperkuat mazhab imamnya walaupun dengan cara menyimpang dalam memahami dan
menakwilkan. Dengan demikian, kepribadian seorang alim ulama tenggelam dan
hancur ke dalam kepentingan golongannya dan semangat kemerdekaan berpikir
menjadi mandek dan mati.
3. Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan,
sementara disisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa
menjamin agar seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli di
bidangnya. Dengan demikian terjadilah krisis pembentukan hukum dan ijtihad, di
mana praktik ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai keahlian.
Orang orang yang tidak ahli (bodoh) itu mempermainkan nas-nas syariah, mereka
berani berfatwa kepada umat islam. Muncullah berbagai macam fatwa hukum yang
bertentangan antara satu dengan lainnya. Hal ini juga di ikuti munculnya
berbagai keputusan hukum, di peradilan-peradilan, sehingga terjadilah keputusan
hukum di peradilan yang bertentangan dalam kasus yang sama dalam satu negeri.
Semua ini terjadi dikalangan umat Islam dan semuanya dianggap sebagai bagian
dari hukum-hukum syariat. Situasi dan kondisi seperti ini membuat para ulama
merasa khawatir sehingga mereka mengambil sikap kebijaksanaan hukum dengan cara
menyatakan menutup pintu ijtihad dan mengikuti para mufti (ahli fatwa) dan
hakim supaya tetap saja mengikuti ketetapan-ketetapan hukum para imam mujtahid
terdahulu. Inilah cara mereka mengatasi atau mengobati krisis pembentukan hukum
Islam dengan cara yang bisa melahirkan sikap dan masa kebekuan (statis). Ini
terjadi pada akhir abad IV.
4. Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga
tidak bisa sampai pada level orang-orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan
mereka tejadi saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri. Kalau salah
seorang di antara mereka berusaha mengetuk pintu kemasyhuran bagi dirinya dan
merendahkan kedudukan rekan-rekan lainnya. Kalau ia berani berfatwa mengenai
suatu masalah menurut pendapatnya dan merusak fatwanya dengan berbagai macam
cara. Oleh karena itu, para ulama berusaha untuk tetap menjaga diri dari adanya
tipu daya rekan-rekannya dan dari celaan mereka dengan mengatakan bahwa dia itu
adalah tukang taklid dan tukang kutip saja dan bukang seorang mujtahid. Dengan
demikian, semangat ijtihad, mandek dan mati sehingga tidak ada yang lahir dan
terangkat tokoh-tokoh dalam dunia fikih idlam. Dan kepercayaan ulama terhadap
dirinya sendiri menjadi lemah dan kurang. Demikian pula kepercayaan masyarakat
kepadanya juga lemah dan kurang, sehingga demikian, mereka bertaklid kepada
mazhab-mazhab imam mujtahid terdahulu saja.
b.
Klasifikasi
mujtahid
Tanpa memenuhi syarat, seseorang tidak
dapat dikategorikan sebagai mujtahid yang berhak melakukan ijtihad. Dikalangan
ulama yang melakukan ijtihad ada beberapa tingkatan. Dan tingkatan ini
tergantung pada aktivitas yang dilakukan mujtahid itu sendiri.
Tingkatan-tingkatan dikalangan mujtahid itu sebagai berikut:
1.
Mujtahid Mutlak: yaitu
mujtahid yang mampu mengistimbathkan hukum dengan menggunakan metode yang
disusun sendiri. Contohnya adalah para Imam mazhab.
2.
Mujtahid Muntasib:
mengistimbatkan hukum dengan mengikuti metode imamnya tetapi tidak bertaklid.
Contoh Abu Yusuf (muridnya Hanafi), Al-Muzani (Syafi’i), Ibnu Abdil Hakam
(Maliki), dan Abu Hamid (Hanbali).
3.
Mujtahid Mazhab: yaitu
mujtahid yang mengikuti imamnya baik dalam usul maupun furu’.
4.
Mujtahid Murajjih: yaitu
mujtahid yang membandingkan beberapa pendapat imam dan memilih salah satu yang
dipandang kuat.
C.
Kondisi
Awal Masa Renaissance (kebangkitan kembali) dan Tanda-tanda Kemajuan
Fase ini di
mulai dari akhir abad ke-13 H sampai dengan hari ini. Oleh karena itu, fase ini
mempunyai karakteristik dan corak tersendiri, antara lain dapat menghadirkan fiqh
ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat memberi masukan
dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul pada hari ini
dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid,
dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
Setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa
abad, para pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali,
termasuk di dalamnya hal pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul
sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran dunia Islam secara
keseluruhan. Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru diantaranya gerakan
para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah.
Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan dunia Islam pada
umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat. Mereka
memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima
pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari
barat. Fase kebangkitan kembali ini merupakan fase meluasnya pengaruh barat
dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang
kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual
melalui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan
intensitasnya.
Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua
aspek; pertama, pembahasan fiqh Islam, dan kedua, kodifikasi fiqh Islam.
a.
Pembahasan
Fiqih Islam
Pada zaman ini
para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fiqih Islam, baik
dengan cara menulis buku ataupun mengkaji. Apabila kita ingin menuliskan
beberapa indikasi kebangkitan fiqih Islam pada zaman ini dari aspek sistem
kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut :
1.
Memberikan
perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah
yang sudah diakui tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab
lain;
2.
Memberikan
perhatian khusus terhadap kajian fiqih tematik (terperinci).
3.
Memberikan
perhatian khusus terhadap fiqih komparasi (perbandingan di antara madzhab fiqh
isslam);
4.
Mendirikan
lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqih. Beberapa
contoh kreativitas di bidang ini :
a.
Lembaga
Kajian Islam di Al-Azhar, didirikan di Mesir pada tahun 1961 M.
b.
Kantor
Pusat Urusan Islam, di bawah koordinator Kementrian Waqaf Mesir.
c.
Ensiklopedi
fiqih di Kuwait.
d.
Ensiklopedi
fiqih di Mesir.
b.
Kodifikasi
Hukum Fiqih
Kodifikasi
adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqih dalam satu bab dalam bentuk
butiran bernomor, jika terdapat masalah maka setiap masalah akan dirujuk pada
materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi kata putus dalam
menyelesaikan perselisihan. Tujuan dari kodifikasi adalah untuk merealisasikan
dua tujuan sebagai berikut :
1.
Menyatukan
semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan, sehingga tidak terjadi
tumpang tindih. Contohnya para hakim tidak boleh memberikan keputusan di luar
undang-undang yang telah ditetapkan untuk menghindari keputusan yang
kontradiktif.
2.
Memudahkan
para hakim untuk merujuk semua hukum fiqih dengan susunan yang sitematik, ada
bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.
Tanda-tanda kemajuan :
1.
Di
bidang perundang-undangan
Periode ini
dimulai dengan berlakunya Majalah al Ahkam al Adliyah yaitu Kitab Undang-undang
Hukum perdata Islam pemerintahan Turki Usmani pada Tahun 1876 M.
2.
Di
bidang pendidikan
Diperguruan-perguruan
agama islam di Mesir, Pakistan, maupun di Indonesia dalam cara menpelajari fiqh
tidak hanya dipelajari tertentu, tetapi juga dipelajari secara perbandingan,
bahkan juga dipelajari hukum adat dan juga sistem hukum eropa. Dengan demikian
diharapkan wawasan pemikiran dalam hukum dan mendekatkan pada hukum islam dan
hukum yang selama ini berlaku.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Sumber-sumber hukum Islam pada periode pembukuan ini ada 4 yakni
Al-Quran, Sunnah, Ijma’, Ijtihad dengan
metode qiyas atau ijtihad dengan
salah satu dari metode istimbat. Adapun pengaruh tasyri’ yang diwariskan pada
periode tadwin adalah adanya hadis-hadis shahih yang telah dibukukan, pembukuan
fikih, hukum-hukumnya, pembukuan Ilmu Ushul Fiqh.
Penyebab
terhentinya gerakan ijtihad diantaranya terpecah-belahnya Daulah Islamiyah, umat
Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan, krisis moral yang
melanda para ulama. Klasifikasi mujtahid : Mujtahid Mutlak, Mujtahid Muntasi, Mujtahid
Mazhab, Mujtahid Murajjih.
Kondisi Awal
Masa Renaissance ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yang
kembali kepada kemurnian ajaran islam. Para ulama yang menyarankan kembali
kepada Al-Qur’an dan Sunah. Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat
dilihat dari dua aspek; pertama, pembahasan fiqh Islam, dan kedua, kodifikasi
fiqh Islam. Tanda-tanda kemajuan dapat dilihat dalam bidang perundang-undangan
dan di bidang pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin dan
Fathurrrohman, Pengantar Ilmu Fiqih, Bandung: PT Refika Aditama, 2016
Jaih, Mubarok, Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000
Khallaf, Abdul
Wahab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2002
http://rizkimukaromah.blogspot.co.id/2011/11/masa-kebangkitan-kembali-hukum-islam.html (Rabu, 5 Oktober 2016, 19:24:33)
Jika mau dikirim file via e-mail atau wa bisa langsung
hubungi kontak ya.
Menerima Kritik dan
Saran
e-mail: neng_fisya97@yahoo.co.id
wa: 085750722841
Facebook : Fitri Sa’banniah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar