Kamis, 19 Oktober 2017

Makalah Pengantar Ilmu Fiqh "KODIFIKASI ILMU FIQH PERIODE KEMUNDURAN (Kondisi Awal Masa Renaissance)"


Makalah disusun oleh: Fitri Sa'banniah, Zainuddin, Mu'alli
Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Fiqh
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara esensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati, dengan bersumber pada Al Qur’an sebagai al wahyu al matludan sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat.
Generasi penerus Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafa’urrosyidin, namun masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama’ sholihin hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Perkembangan ilmu fiqih, bisa kita kualifikasikan secara periodik sesuai dengan kesepakatan para ulama. Yaitu ada empat, diantaranya : Pertama adalah masa kemunculan dan pembentukan dasar-dasar islam, perode ini mencakup masa Nabi SAW dan bisa juga disebut sebagai masa turunnya al Quran atau wahyu. Kedua adalah masa pembangunan dan penyempurnaan, pada periode ini mencakup masa sahabat dan tabi’in hingga pertengahan qurun ke empat hijriyah. Yang ke tiga adalah masa taqlid dan jumud, pada periode ini berkisar antara pertengahan abad ke empat hingga abad ke tiga belas hijriyah. Keempat adalah masa kebangkitan, periode ini berkisar dari abad tiga belas hingga sekarang.


B.     Rumusan Masalah
a.       Apa sumber hukum pada periode tadwin?
b.      Bagaimana pengaruh tasyri’ yang diwariskan pada periode tadwin?
c.       Apa penyebab terhentinya gerakan ijtihad?
d.      Apa klasifikasi mujtahid?
e.       Bagaimana kondisi awal masa renaissance (kebangkitan kembali) dan tanda-tanda kemajuan ?

C.     Tujuan Masalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
a.       Sumber hukum pada periode tadwin
b.      Pengaruh tasyri’ yang diwariskan pada periode tadwin
c.       Penyebab terhentinya gerakan ijtihad
d.      Klasifikasi mujtahid
e.       Kondisi awal masa renaissance (kebangkitan kembali) dan tanda-tanda kemajuan












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Periode Tadwin/kodifikasi ( 101 – 350 H / 720 – 971 M)
Yaitu periode pembukuan dan munculnya para imam mujtahid, dan zaman perkembangan serta kedewasaan hukum, yang berlangsung selama 250 tahun, yaitu terhitung mulai tahun 100-350 H (720-971 M).
a.       Sumber Hukum pada periode tadwin
Sumber-sumber hukum Islam pada periode pembukuan ini ada 4:
1.      Al-Quran
2.      Sunnah
3.      Ijma’
4.      Ijtihad dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu dari metode istimbat.
Kalau seorang mufti mendapatkan ketetapan hukum suatu masalah dalam al-Quran atau sunnah, maka dia harus berpedoman kepada ketetapan nas tersebut. Dan kalau tidak mendapatkan ketetapan hukumnya dalam al-Quran dan sunnah, namun dia mengetahui ketetapan hukumnya berdasarkan ijma’ para mujtahid, maka dia harus berpegang dan memberi fatwa hukum berdasarkan ijma’ tesebut. Selanjutnya kalau tidak mendapatkan ketetapan hukum suatu masalah dalam al-Quran dan sunnah dan tidak ada juga ketetapan ijma’ ulama, maka barulah ia berijtihad dan beristimbat dengan metode istimbat sesuai yang ditunjukkan syariat.1




1Khallaf, Abdul Wahab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.81-82
Beberapa usaha di seputar sumber-sumber hukum
Pada periode ini ada dua usaha dalam rangka memelihara dan menjaga kemurnian al-Quran sebagai sumber hukum islam yang pertama dari segala macam perubahan. Usaha yang dimaksud adalah :
1.      Umat islam menjaga dan memelihara al-Quran dengan menghafal seluruh al-Qur’an 30 juz.
2.      Usaha perbaikan bentuk al-Quran dan pemberian baris pada huruf-hurufnya. Usaha ini dilakukan karena musahaf yang sudah dibukukan pada zaman Usman bin Affan yang kemudian disalin kembali dan diperbanyak menjadi beberapa naskah mushaf, lalu dikirim ke berbagai kota besar umat Islam adalah ditulis dengan gaya tulisan kufi tanpa titik dan baris sedangkan pedoman dalam membacanya adalah berdasarkan penerimaan dari para penghafal al-Qur’an.
Setelah banyak orang-orang non Arab masuk Islam, maka muncul kekhawatiran oleh sebagian para pembaca al-Qur’an akan terjadi kesalahan atau campur aduk dalam membaca khat dalam al-Quran. Dengan melihat kenyataan ini menjadi masalah, maka Abu al-Aswad al-Dualy (67 H/688 M) atas intruksi gurbenur Irak Ziyad bin Abihi, membuat tanda-tanda baris di akhir tiap-tiap kalimat sebagai berikut :
-          Tanda fathah dengan satu titik di atas huruf
-          Tanda kasrah dengan satu titik di bawah huruf
-          Tanda dhammah dengan satu titik di samping huruf
-          Tanda tanwin dengan dua ttik di atas huruf.
Kemudian selanjutnya Khalil bin Ahmad berusaha merevisi tanda-tanda tersebut  dengan menjadikan sebagai berikut :
-          Tanda fathah dengan alif yang dibaringkan di atas huruf
-          Tanda kasrah dengan ya di bawah huruf
-          Tanda dhammah dengan wawu di atas huruf
Usaha selanjutnya oleh Nashar bin Ashim (84 H/ 707 M) meletakkan titik-titik pada huruf yang semestinya diberi titik dengan satu atau dua titik atas instruksi gurbernur Irak al-Hajjaj bin Yusuf.
Adapun mengenai sumber hukum yang kedua yaitu sunnah, juga telah ada usaha yang berkaitan dengannya pada awal periode ini. Adalah khalifah Umar bin Abdal-Aziz (99-101 H / 717-720 M) pada awal pemerintahannya mengirim surat kepada gubernur Madinah, Abu Bakar Muhammad bin Umar bin Hazm (117 H/735 M) agar segera mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah SAW. dan membukukannya. Isi surat tersebut adalah:
“Carilah hadis-hadis Rasulullah SAW. Lalu tulis, sebab aku khawatir akan hilangnya ilmu dan habisnya ulama”.
Dan tugas pentadwinan ini dibebankan kepada Muhammad bin Syihabal-Zuhry (124 H/742 M).
Pada periode inilah dimulai pembukuan atau pentadwinan (kodifikasi) hadis sebagai sumber hukum kedua, setelah selama abad pertama hijriah hadis-hadis masih bertebaran dan berada termasuk orang yang membukukan pada tahap pertama dalam periode ini adalah imam Malik bin Anas di Madinah, Sufyan At-Tasyuri di Kufah dan lainnya. Hal ini berlangsung sekitar tahun 140 H/757 M. Pada kitab-kitab mereka hadis masih bercampur dengan kata-kata sahabat dan tabi’in sebagaimana yang kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas (179 H/798 M) atas instruksi khalifah Abu Ja’far al-Mansur.
Pada tahap kedua hadis mulai dipisahkan dari kata-kata orang lain, yaitu pada permulaan tahun 200 H mereka menulis kitab yang dikenal dengan nama Musnad. Musnad adalah nama kitab hadis yang hadis-hadisnya ditulis dan dihimpun berdasarkan urutan dari periwayatnya, missal khusus riwayat Umar, riwayat Abu Bakar, dan lain-lain, bukan berdasarkan topik atau materi kandungan hadis itu. Kitab-kitab Musnad antara lain Musnad Abdullah bin Musa al-Kufiy, Musnad Mudaddad bin Madrahah al-Basriy, Musnad Ahmad bin Hambal dan lainnya. Dari musnad-musnad tersebut yang sampai ketangan kita adalah  Musnad Ahmad bin Hambal.
Pada tahap berikutnya terdapat dua imam besar tokoh sunnah, yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy (256 H/870 M) dan Muslim bin Hajjaj al-Naisabury (261 H/875 M) menyusun dua buah kitab hadis yang berkualitas shahih al-Bukhariy dan Shahih Muslim. Dua kitab inilah menandai puncak era kodifikasi atau pembukuan hadis.
b.      Pengaruh Tasyri’ yang Diwariskan pada Periode Tadwin
Pengaruh Tasyri’ (perundang-undangan) yang paling penting yang telah diwariskan oleh periode  tadwin atau periode kodifikasi atau pembukuan ini, ada  3:
1.      Adanya hadis-hadis shahih yang telah dibukukan, baik pembukuannya secara sistem musnad ataupun pembukuan dan penghimpunannya berdasarkan bab-bab fikih. Para ulama sangat optimis dan berlomba-lomba dalam menghimpun dan meneliti hadis serta menyusun biografi para periwayat hadis.
2.      Pembukuan fikih, hukum-hukumnya, dan pengumpulan masalah-masalah yang berkaitan dengan satu obyek dengan sesuatu yang lain, penyelidikan kualitas hukum, dan istidlal-nya yakni cara menggunakan dalil dalam menetapkan hukum. Pada periode ini wilayah kekuasaan pemerintahan Islam sudah sangat luas, kebudayaannya sudah sangat berkembang dan maju, dan diasana banyak peristiwa baru yang belum ada ketetapan hukumnya secara jelas dalam al-Quran dan hadis. Oleh karena itu pada periode ini arena dan gelanggang ijtihad sangat luas bagi para imam mujtahid. Mereka berijtihad dengan metode istimbat (menetapkan) hukum mengenai masalah yang tidak ada ketetapa nasnya. Metode mereka dalam berijtihad dan mengkaji berbagai persoalan baru yang terjadi ditengah mereka banyak dipengaruhi oleh orang-orang non-Arab yang telah masuk islam. Mereka dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang ditransfer dari bangsa-bangsa lain ke tangan umat islam (misalnya melalui gerakan penerjemahan buku-buku filsafat, dan lain-lain dari Yunani ke bahasa Arab) pada pertengahan abad 2 H / 9 M dimasa kekhalifahan al-Ma’mun.
Pada periode ini, sudah dibukukan ensiklopedi hukum
3.      Pembukuan Ilmu Ushul Fiqh. Pada periode ini ilmu ushul fiqih sudah dibukukan dan setiap imam mujtahidlah yang  meletakkan ushul fiqih dan dasar-dasarnya yang merupakan landasan dan sandaran dalam melakukan aktivitas ijtihad. Dan setiap imam mujtahid berusaha mensosialisasikan prinsip-prinsip dan ushul fiqihnya pada berbagai hukum yang mereka tetapkan. Imam Malik (197 H/798 M) dalam berbagai pembahasannya dalam kitab al-Muwaththa’ menunjukkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah tasyri’nya.

B.     Periode Taqlid/Masa Kemunduran/Jumud (dimulai pada pertengahan 450 H – 1300 H)
Periode ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Mula-mula masa kemunduran dalam bidang kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam atau Fiqih Islam. Pada umumnya, ulama yang berada di masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagiamana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada kejayaan seperti disebut diatas.
Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan kepada tingkat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang mengantarkan Dunia Islam kea lam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam pikiran yang jumud dan statis.
a.       Penyebab Terhentinya Gerakan Ijtihad
Disamping kondisi sosial politik tersebut, beberapa faktor lain berikut ini kelihatannya ikut mendorong lahrnya sikap taklid dan kemunduran. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1.       Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang antara satu dengan yang lainnya saling bermusuhan. Perpecahan ini menyebabkan mereka sibuk memfitnah, memasang berbagai perangkap, tipu daya dan pemaksaan dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan. Situasi dan kondisi seperti ini melahirkan masa krisis umum sehingga semangat keilmuan dan kesenian menjadi lemah dan pudar. Dan krisis ini mempengaruhi terhentinya gerakan ijtihad pembentukan hukum
2.       Pada periode ketiga para imam mujtahid terpolarisasi dalam beberapa golongan. Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai khittah tersendiri pula. Dan setiap aliran hukum ini mempunyai pengikut dan kader-kader yang berusaha mencurahkan segenap perhatiannya dalam rangka membela dan memenangkan mazhabnya masing-masing, serta ushul fikih dan cabang-cabangnya dengan berbagai cara. Misal, mazhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi yang melegitimasi kebenaran mazhabnya sambil mengedepankan kekeliruan mazhab lain yang dinilai bertentangan dengan mazhabnya.
Disamping itu, juga adakalanya dengan cara menyanjung-nyanjung para tokoh ulama dan pemimpin mereka serta menonjol-nonjolkan kemampuan dan kehebatan mereka. Kondisi inilah yang membuat para ulama mazhab sibuk dan membelokkan mereka dari dasar-dasar pokok tasyri’ yaitu al-Quran dan sunnah. Dan tak seorangpun diantara mereka yang mau merujuk kepada al-Quran dan hadis kecuali untuk memperkuat mazhab imamnya walaupun dengan cara menyimpang dalam memahami dan menakwilkan. Dengan demikian, kepribadian seorang alim ulama tenggelam dan hancur ke dalam kepentingan golongannya dan semangat kemerdekaan berpikir menjadi mandek dan mati.
3.       Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan, sementara disisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli di bidangnya. Dengan demikian terjadilah krisis pembentukan hukum dan ijtihad, di mana praktik ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai keahlian. Orang orang yang tidak ahli (bodoh) itu mempermainkan nas-nas syariah, mereka berani berfatwa kepada umat islam. Muncullah berbagai macam fatwa hukum yang bertentangan antara satu dengan lainnya. Hal ini juga di ikuti munculnya berbagai keputusan hukum, di peradilan-peradilan, sehingga terjadilah keputusan hukum di peradilan yang bertentangan dalam kasus yang sama dalam satu negeri. Semua ini terjadi dikalangan umat Islam dan semuanya dianggap sebagai bagian dari hukum-hukum syariat. Situasi dan kondisi seperti ini membuat para ulama merasa khawatir sehingga mereka mengambil sikap kebijaksanaan hukum dengan cara menyatakan menutup pintu ijtihad dan mengikuti para mufti (ahli fatwa) dan hakim supaya tetap saja mengikuti ketetapan-ketetapan hukum para imam mujtahid terdahulu. Inilah cara mereka mengatasi atau mengobati krisis pembentukan hukum Islam dengan cara yang bisa melahirkan sikap dan masa kebekuan (statis). Ini terjadi pada akhir abad IV.
4.       Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga tidak bisa sampai pada level orang-orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan mereka tejadi saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri. Kalau salah seorang di antara mereka berusaha mengetuk pintu kemasyhuran bagi dirinya dan merendahkan kedudukan rekan-rekan lainnya. Kalau ia berani berfatwa mengenai suatu masalah menurut pendapatnya dan merusak fatwanya dengan berbagai macam cara. Oleh karena itu, para ulama berusaha untuk tetap menjaga diri dari adanya tipu daya rekan-rekannya dan dari celaan mereka dengan mengatakan bahwa dia itu adalah tukang taklid dan tukang kutip saja dan bukang seorang mujtahid. Dengan demikian, semangat ijtihad, mandek dan mati sehingga tidak ada yang lahir dan terangkat tokoh-tokoh dalam dunia fikih idlam. Dan kepercayaan ulama terhadap dirinya sendiri menjadi lemah dan kurang. Demikian pula kepercayaan masyarakat kepadanya juga lemah dan kurang, sehingga demikian, mereka bertaklid kepada mazhab-mazhab imam mujtahid terdahulu saja.
b.      Klasifikasi mujtahid
         Tanpa memenuhi syarat, seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai mujtahid yang berhak melakukan ijtihad. Dikalangan ulama yang melakukan ijtihad ada beberapa tingkatan. Dan tingkatan ini tergantung pada aktivitas yang dilakukan mujtahid itu sendiri. Tingkatan-tingkatan dikalangan mujtahid itu sebagai berikut:
1.      Mujtahid Mutlak: yaitu mujtahid yang mampu mengistimbathkan hukum dengan menggunakan metode yang disusun sendiri. Contohnya adalah para Imam mazhab.
2.      Mujtahid Muntasib: mengistimbatkan hukum dengan mengikuti metode imamnya tetapi tidak bertaklid. Contoh Abu Yusuf (muridnya Hanafi), Al-Muzani (Syafi’i), Ibnu Abdil Hakam (Maliki), dan Abu Hamid (Hanbali).
3.      Mujtahid Mazhab: yaitu mujtahid yang mengikuti imamnya baik dalam usul maupun furu’.
4.      Mujtahid Murajjih: yaitu mujtahid yang membandingkan beberapa pendapat imam dan memilih salah satu yang dipandang kuat. 
C.     Kondisi Awal Masa Renaissance (kebangkitan kembali) dan Tanda-tanda Kemajuan
Fase ini di mulai dari akhir abad ke-13 H sampai dengan hari ini. Oleh karena itu, fase ini mempunyai karakteristik dan corak tersendiri, antara lain dapat menghadirkan fiqh ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat memberi masukan dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli,  menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
Setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali, termasuk di dalamnya hal pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan. Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru diantaranya gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah.
Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat. Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari barat. Fase kebangkitan kembali ini merupakan fase meluasnya pengaruh barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual melalui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan intensitasnya.
Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek; pertama, pembahasan fiqh Islam, dan kedua, kodifikasi fiqh Islam.
a.       Pembahasan Fiqih Islam
Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fiqih Islam, baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji. Apabila kita ingin menuliskan beberapa indikasi kebangkitan fiqih Islam pada zaman ini dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut :
1.      Memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab lain;
2.      Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqih tematik (terperinci).
3.      Memberikan perhatian khusus terhadap fiqih komparasi (perbandingan di antara madzhab fiqh isslam);
4.      Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqih. Beberapa contoh kreativitas di bidang ini :
a.       Lembaga Kajian Islam di Al-Azhar, didirikan di Mesir pada tahun 1961 M.
b.      Kantor Pusat Urusan Islam, di bawah koordinator Kementrian Waqaf Mesir.
c.       Ensiklopedi fiqih di Kuwait.
d.      Ensiklopedi fiqih di Mesir.
b.      Kodifikasi Hukum Fiqih
Kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqih dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor, jika terdapat masalah maka setiap masalah akan dirujuk pada materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi kata putus dalam menyelesaikan perselisihan. Tujuan dari kodifikasi adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :
1.      Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Contohnya para hakim tidak boleh memberikan keputusan di luar undang-undang yang telah ditetapkan untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
2.      Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqih dengan susunan yang sitematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.

Tanda-tanda kemajuan :
1.      Di bidang perundang-undangan
Periode ini dimulai dengan berlakunya Majalah al Ahkam al Adliyah yaitu Kitab Undang-undang Hukum perdata Islam pemerintahan Turki Usmani pada Tahun 1876 M.
2.      Di bidang pendidikan
Diperguruan-perguruan agama islam di Mesir, Pakistan, maupun di Indonesia dalam cara menpelajari fiqh tidak hanya dipelajari tertentu, tetapi juga dipelajari secara perbandingan, bahkan juga dipelajari hukum adat dan juga sistem hukum eropa. Dengan demikian diharapkan wawasan pemikiran dalam hukum dan mendekatkan pada hukum islam dan hukum yang selama ini berlaku.




BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Sumber-sumber hukum Islam pada periode pembukuan ini ada 4 yakni Al-Quran, Sunnah, Ijma’, Ijtihad dengan  metode qiyas atau  ijtihad dengan salah satu dari metode istimbat. Adapun pengaruh tasyri’ yang diwariskan pada periode tadwin adalah adanya hadis-hadis shahih yang telah dibukukan, pembukuan fikih, hukum-hukumnya, pembukuan Ilmu Ushul Fiqh.
Penyebab terhentinya gerakan ijtihad diantaranya terpecah-belahnya Daulah Islamiyah, umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan, krisis moral yang melanda para ulama. Klasifikasi mujtahid : Mujtahid Mutlak, Mujtahid Muntasi, Mujtahid Mazhab, Mujtahid Murajjih.
Kondisi Awal Masa Renaissance ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yang kembali kepada kemurnian ajaran islam. Para ulama yang menyarankan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah. Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek; pertama, pembahasan fiqh Islam, dan kedua, kodifikasi fiqh Islam. Tanda-tanda kemajuan dapat dilihat dalam bidang perundang-undangan dan di bidang pendidikan.






DAFTAR PUSTAKA
Amirudin dan Fathurrrohman, Pengantar Ilmu Fiqih, Bandung: PT Refika Aditama, 2016
Jaih, Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000
Khallaf, Abdul Wahab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002



Jika mau dikirim file via e-mail atau wa bisa langsung hubungi kontak ya.
Menerima Kritik dan Saran
wa: 085750722841
Facebook : Fitri Sa’banniah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar