Kamis, 19 Oktober 2017

Cerpen "Ternyata Dia, Sahabatku"

Ternyata dia, Sahabatku
Oleh : Fitri Sa’banniah
“Sahabatku lebih berarti dari sekedar cinta.”
Aku Fika, pemilik nama asli Fika Desianty Wijaya. Riska, sabat terbaikku sejak kecil memanggilku dengan nama fidew, biar keren katanya. Ah, biarkan saja dia berkreasi. Aku tak masalah selagi nama itu bukan untuk menghina atau menyindirku. Hehe..
Angin sepoi-sepoi menghantarkan langkahku menuju taman kecil di belakang vila milik kakekku. Tak seperti biasanya kali ini aku sendiri, alias tanpa Riska. Entahlah kenapa aku hanya ingin sendiri. Aku duduk di sebuah kursi putih untuk dua orang sembari menikmati langit-langit senja, indahnya ciptaan-Mu Tuhan, aku membatin dan menghirup udara panjang. Aku menoleh ke arah samping, aku merasa sepi, ‘andai aku punya kekasih’ batinku bergejolak. Namun rasanya tak mungkin, aku butuh menemukan seribu keberanian untuk dapat membuka peti cintaku lagi. Aku tertawa kecil namun agak datar karena kesedihan yang sebenarnya ku rasakan tapi tawa ini tulus dari hati.  
            “Non, udah mau maghrib ini, masuk angin. Nanti malah saya yang di marahin sama Tuan Besar.” Ajak Pak Usu ramah, penjaga vila yang sudah ku kenal selagi aku masih kecil.
            Aku melirik ke arahhnya “Hehe, Pak usu ini, emang kakek badannya besar,”  jawab ku. “Waah, Pak usu ngeledek kakekku ya? Ntar aku bilangin ke kakek.” Dengan nada mengancam aku menahan sarafku agar tidak tertawa. Pak Usu terlihat takut.
            “Ja..ja… yah jangan dong non,” ujar nya dengan kikuk, “Maksud Pak Usu, bukan badannya yang besar,” ia membela diri.
            “Lalu apa dong?” aku seolah mengintograsinya, aku tertawa pelan.
            “Ya, ya itu non. Aduh. Pak Usu kan memang manggil kakek non dengan sebutan Tuan Besar. Kalau Cuma tuan aja, itu kan untuk ayahnya non Fika.” Pak usu menunduk
“Hahahaha,” aku tertawa lepas. “iya deh Pak, Fika Cuma becanda kok. Ya udah, Fika masuk dulu ya.”
***
Kejadian satu tahun yang lalu membuat semua berubah. Jujur aku merasa kesepian di sini. Tak ada Riska dan tak ada dia. Aku coba menghibur diri untuk melupakan kejadian itu dengan sering menyendiri. Namun rasanya semakin sakit.
Dia Gio, pemeran utama dalam takdir cintaku. Aku menyukainya bahkan mencintainya dalam hatiku. Aku pikir dia juga begitu karena selama ini dia selalu ada untukku, tak pernah kulihat sia bersama wanita lain atau pun hanya sekedar sms-an.
Sampai suatu hari tanpa sengaja aku melihat Gio keluar dari toko emas, langkahnya yang cepat sambil mengocekkan sebuah kotak merah berukuran kecil yang biasa untuk tempat cincin. ‘Mau kemana dia? Tampak terburu-buru. Cincin? Untuk siapa?’. Seribu pertanyaan tiba-tiba memenuhi kepalaku. Tanpa berpikir panjang aku meminta sopirku mengikuti mobil Gio yang berjalan lambat.
Ckiiit….
Mobilku berhenti mendadak. “Aauuuuwww…!” teriakku refleks karena keningku menghantam bangku sopir dengan sangat keras.
“Maaf, Non… itu mobil yang kita ikutin tiba-tiba berhenti di depan Restoran.” Pak sopir menoleh kearahku, wajahnya tampak menyesal karena mengerem mendadak.
“Iya nggak apa-apa, Pak.” Sambil mengelus keningku yang sakit, aku membuka sedikit kaca jendelaku. Gio keluar dari mobilnya. Mataku terus membuntuti lelaki itu. Beruntung dinding restoran ini transparan. Jadi aku bisa memperhatikannya. Untuk apa dia kemari?
Aku keluar dan meminta sopirku untuk pulang duluan dan memberitahu papa kalau aku bertemu dengan temanku dan akan pulang segera.
Gio berjalan mengendap-endap menuju sebuah kursi dengan lilin dan sentuhan mawar di atas meja. Ada seorang perempuan di sana. Siapa dia? Kulihat raut wajah Gio yang tampak bahagia dengan senyumnya yang sangat lebar. Aku belum pernah melihat senyuman Gio semanis itu.
Wanita itu berbalik badan, dan… Riska… aku menghela nafas panjang tangis ini tak dapat  kubendung “tega…” hanya kata itu yag keluar dari bibirku menyebutnya dengan lirih. Aku menghentikan tontonan drama yang romantic itu. Lututku terasa lemas. Sejuta bintang kupandangi di atas berubah menjadi batuan api yang seolah jatuh membakar seluruh raga dan jiwaku.
Apa yang aku lakukan di sini? Berdiri terpaku menatap adegan romantis yang menciptakan jarum menancap-nancap di dadaku. Seperti ada sebuah benda keras yang sedang menghimpit saluran pernafasanku, ada sebuah benda yang meremas hatiku.
Sekarang kemana aku akan pergi? Setapak demi setapak kutekuni jalan ini. Aku berada dipersimpangan jalan. Entah aku harus kemana. Aku hanya melihat orang-orang menyebrangi dan lalu lalang di depan. Aku pulang
Aku tak memberitahu Riska, aku menghilang, mematikan ponsel dan menutup semua akun social media. Aku hanya ingin menerima kenyataan bahwa Gio menyukai dia, sahabatku. Bukan aku.


Judul Cerpen   : Ternyata dia, sahabatku.
Cerpen karangan : Fitri Sa’banniah (Cerpen ke-6, 05 September 2016)
Facebook : Fitri Sa’banniah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar