Ternyata dia, Sahabatku
Oleh : Fitri Sa’banniah
“Sahabatku lebih berarti dari sekedar cinta.”
Aku Fika, pemilik nama asli Fika
Desianty Wijaya. Riska, sabat terbaikku sejak kecil memanggilku dengan nama
fidew, biar keren katanya. Ah, biarkan saja dia berkreasi. Aku tak masalah
selagi nama itu bukan untuk menghina atau menyindirku. Hehe..
Angin sepoi-sepoi menghantarkan
langkahku menuju taman kecil di belakang vila milik kakekku. Tak seperti
biasanya kali ini aku sendiri, alias tanpa Riska. Entahlah kenapa aku hanya
ingin sendiri. Aku duduk di sebuah kursi putih untuk dua orang sembari
menikmati langit-langit senja, indahnya ciptaan-Mu Tuhan, aku membatin dan
menghirup udara panjang. Aku menoleh ke arah samping, aku merasa sepi, ‘andai
aku punya kekasih’ batinku bergejolak. Namun rasanya tak mungkin, aku butuh
menemukan seribu keberanian untuk dapat membuka peti cintaku lagi. Aku tertawa
kecil namun agak datar karena kesedihan yang sebenarnya ku rasakan tapi tawa
ini tulus dari hati.
“Non, udah mau maghrib
ini, masuk angin. Nanti malah saya yang di marahin sama Tuan Besar.” Ajak Pak
Usu ramah, penjaga vila yang sudah ku kenal selagi aku masih kecil.
Aku melirik ke
arahhnya “Hehe, Pak usu ini, emang kakek badannya besar,” jawab ku. “Waah, Pak usu ngeledek kakekku ya?
Ntar aku bilangin ke kakek.” Dengan nada mengancam aku menahan sarafku agar
tidak tertawa. Pak Usu terlihat takut.
“Ja..ja… yah
jangan dong non,” ujar nya dengan kikuk, “Maksud Pak Usu, bukan badannya yang
besar,” ia membela diri.
“Lalu apa dong?”
aku seolah mengintograsinya, aku tertawa pelan.
“Ya, ya itu non.
Aduh. Pak Usu kan memang manggil kakek non dengan sebutan Tuan Besar. Kalau
Cuma tuan aja, itu kan untuk ayahnya non Fika.” Pak usu menunduk
“Hahahaha,” aku tertawa lepas. “iya
deh Pak, Fika Cuma becanda kok. Ya udah, Fika masuk dulu ya.”
***
Kejadian satu tahun yang lalu
membuat semua berubah. Jujur aku merasa kesepian di sini. Tak ada Riska dan tak
ada dia. Aku coba menghibur diri untuk melupakan kejadian itu dengan sering
menyendiri. Namun rasanya semakin sakit.
Dia Gio, pemeran utama dalam takdir
cintaku. Aku menyukainya bahkan mencintainya dalam hatiku. Aku pikir dia juga
begitu karena selama ini dia selalu ada untukku, tak pernah kulihat sia bersama
wanita lain atau pun hanya sekedar sms-an.
Sampai suatu hari tanpa sengaja aku
melihat Gio keluar dari toko emas, langkahnya yang cepat sambil mengocekkan
sebuah kotak merah berukuran kecil yang biasa untuk tempat cincin. ‘Mau kemana
dia? Tampak terburu-buru. Cincin? Untuk siapa?’. Seribu pertanyaan tiba-tiba
memenuhi kepalaku. Tanpa berpikir panjang aku meminta sopirku mengikuti mobil
Gio yang berjalan lambat.
Ckiiit….
Mobilku berhenti mendadak.
“Aauuuuwww…!” teriakku refleks karena keningku menghantam bangku sopir dengan
sangat keras.
“Maaf, Non… itu mobil yang kita
ikutin tiba-tiba berhenti di depan Restoran.” Pak sopir menoleh kearahku,
wajahnya tampak menyesal karena mengerem mendadak.
“Iya nggak apa-apa, Pak.” Sambil
mengelus keningku yang sakit, aku membuka sedikit kaca jendelaku. Gio keluar
dari mobilnya. Mataku terus membuntuti lelaki itu. Beruntung dinding restoran
ini transparan. Jadi aku bisa memperhatikannya. Untuk apa dia kemari?
Aku keluar dan meminta sopirku untuk
pulang duluan dan memberitahu papa kalau aku bertemu dengan temanku dan akan
pulang segera.
Gio berjalan mengendap-endap menuju
sebuah kursi dengan lilin dan sentuhan mawar di atas meja. Ada seorang
perempuan di sana. Siapa dia? Kulihat raut wajah Gio yang tampak bahagia dengan
senyumnya yang sangat lebar. Aku belum pernah melihat senyuman Gio semanis itu.
Wanita itu berbalik badan, dan…
Riska… aku menghela nafas panjang tangis ini tak dapat kubendung “tega…” hanya kata itu yag keluar
dari bibirku menyebutnya dengan lirih. Aku menghentikan tontonan drama yang romantic
itu. Lututku terasa lemas. Sejuta bintang kupandangi di atas berubah menjadi
batuan api yang seolah jatuh membakar seluruh raga dan jiwaku.
Apa yang aku lakukan di sini?
Berdiri terpaku menatap adegan romantis yang menciptakan jarum menancap-nancap
di dadaku. Seperti ada sebuah benda keras yang sedang menghimpit saluran
pernafasanku, ada sebuah benda yang meremas hatiku.
Sekarang kemana aku akan pergi?
Setapak demi setapak kutekuni jalan ini. Aku berada dipersimpangan jalan. Entah
aku harus kemana. Aku hanya melihat orang-orang menyebrangi dan lalu lalang di
depan. Aku pulang
Aku tak memberitahu Riska, aku
menghilang, mematikan ponsel dan menutup semua akun social media. Aku hanya
ingin menerima kenyataan bahwa Gio menyukai dia, sahabatku. Bukan aku.
Judul Cerpen : Ternyata dia,
sahabatku.
Cerpen karangan : Fitri Sa’banniah (Cerpen ke-6, 05 September 2016)
Facebook : Fitri Sa’banniah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar