Minggu, 22 Oktober 2017

Makalah Fiqh Ibadah, MUSTAHIKIN ZAKAT, ZAKAT FITRAH (HUKUM DAN HIKMAH) DAN SEDEKAH

MUSTAHIKIN ZAKAT,
ZAKAT FITRAH (HUKUM DAN HIKMAH) DAN SEDEKAH

Ditulis untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Ibadah
Dosen Pengampu : Dra. Hj. Wagiyem, M.Ag


Disusun oleh: Kelompok 3
Desi Mayang Sari (11624045)
Fitri Sa’banniah (11624002)

Semester/Kelas : II/B

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN HUKUM KELUARGA (AS)
2016


KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah in ditulis untuk memenuhi tugas kolompok yang diberikan oleh Ibu Hj. Wagiyem selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqh Ibadah.
Dalam kesempatan ini, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun, demi kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya. Besar harapan penulis, agar apa yang ada di dalam makalah ini dapat bermanfaat, baik bagi penyusun sendiri maupun kepada pihak yang membaca.  Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini, akan menambah literatur bacaan serta dapat menambah wawasan bagi semua pihak. Aamiin.


Pontianak,  27 Maret 2017

Penulis










i



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................. ……………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………….................................. ii
BAB  I   PENDAHULUAN……………………………………….........................             1
A.    Latar Belakang…………………………………………………....................... 1
B.     Rumusan Masalah…………………………............................... ...................... 1
C.     Tujuan Masalah……………………………………………….......................... 1
BAB II   PEMBAHASAN
A.    Mustahikin Zakat…..….………………………………….…………………...3
B.     Zakat Fitrah: Hukum dan Hikmah……………………………………..….......6
C.     Sedekah……………………………………………………………….............11

BAB III   PENUTUP
A.    Simpulan……………………………………………………………………..18
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....19






ii



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Harta merupakan titipan Allah SWT yang pada hakekatnya hanya dititipkan kepada kita sebagai manusia ciptaan-Nya. Konsekuensi manusia terhadap segala bentuk titipan yang dibebankan kepadanya mempunyai aturan-aturan Tuhan, baik dalam pengembangan maupun dalam penggunaan.
Zakat adalah ibadah wajib yang berkaitan dengan harta benda. Seorang yang telah memenuhi syarat dituntut untuk menunaikannya bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau terpaksa dengan penekanan penguasa. Karena itu, agama menetapkan ‘amilin atau petugas khusus yang mengelolanya disamping menetapkan sanksi-sanksi duniawi dan ukhrowi terhadap mereka yang enggan melaksanakannya.
Zakat diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya, yaitu delapan golongan yang terdiri dari fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil. Zakat yang dikeluarkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Selain zakat ada pula ibadah maliyah yang sangat dianjurkan, yaitu sedekah. Karena pada hakekatnya segala harta yang dimiliki manusia adalah titipan Allah SWT, maka setiap kita manusia wajib melaksanakan segala perintah Allah mengenai hartanya.
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan mengenai para mustahikin zakat, hukum dan hikmah zakat fitrah dan sedekah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Siapa saja yang tergolong para mustahikin zakat?
2.      Bagaimana hukum dan hikmah dari zakat fitrah?
3.      Apa itu sedekah?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui siapa saja yang tergolong dalam kategori mustahik zakat
2.      Untuk mengetahui hukum dan hikmah dari zakat fitrah
3.      Untuk mengetahui tentang sedekah


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mustahikin Zakat
Ketika Allah SWT mewajibkan kepada umat Islam yang kaya (Aghnia) untuk membayar zakat, Allah juga menentukan sasaran alokasi yang berhak menerima zakat. Masalah ini tidak dibiarkan manusia berijtihad atau berkreasi untuk menentukan pihak-pihak yang berhak. Karena masalah harta adalah masalah yang sangat sensitif dan dapat menimbulkan ajang pertumpahaan darah jika tidak ditentukan langsung secara jelas oleh Allah SWT.
Para ulama madzhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan.[1]  Dan semuanya sudah disebutkan dalam Surah At-Taubah ayat 60.
Allah berfirmanû,
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[2]
Ayat ini jelas sekali bahwa Allah SWT telah menetapkan pihak-pihak yang berhak menerima zakat, yaitu yang biasa disebut dengan 8 Ashnaf mustahikin zakat, mereka adalah: fakir, miskin, amilin, muallaf, fir-riqab, gharimin, fii sabilillah, dan ibnu sabil.
“Ayat ini menyatakan bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang-orang selain mereka, tidak boleh pula mencegah zakat dari sebagian golongan di antara mereka bilamana golongan tersebut memang ada.”[3] “Karena itu zakat tidak boleh dibagikan kecuali kepada yang ditetapkan-Nya itu selama mereka ada.”[4]
Bagi yang meneliti ayat 60 dari surat At Taubah diatas ada sedikit perbedaan pengungkapan pada empat kelompok pertama dengan empat kelompok kedua. Empat kelompok pertama menggunakan kata (huruf) li atau huruf lam yang berarti untuk (menunjukkan peruntukkan), sedangkan empat kelompok kedua menggunakan huruf fi yang makna asalnya menunjukkan keterangan tempat.
Diantara hikmah penyebutan tersebut sebagaimana disebutkan oleh Fakhrur Razi: “Untuk empat sasaran pertama zakat diberikan kepada mereka dan mereka dapat memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya. Adapun dalam memerdekakan budak zakat diberikan untuk menghilangkan perbudakan, sehingga tidak diberikan kepada mereka untuk dipakai sekehendak hatinya, akan tetapi digunakan untuk menghilangkan sifat perbudakan. Demikian juga bagi mereka yang berhutang, zakat diserahkan untuk membayar hutang, bagi yang sedang berperang zakat digunakan untuk sarana dan prasarana peperangan, begitu juga Ibnu Sabil”.
Simpulannya, bagi empat sasaran pertama, zakat diserahkan kepada mereka dan mereka memiliki hak penuh untuk menggunakannya sesuai dengan kebutuhan mereka. Sedangkan bagi empat sasaran kedua zakat tidak diserahkan karena ada sesuatu kebutuhan atau keadaan yang menyebabkan mereka berhak menerima zakat.
Mengenai definisi golongan atau kelompok penerima zakat tersebut, semua ulama mazhab mempunyai pendapat yang berbeda. Namun pada umumnnya, kedelapan asnaf dapat diartikan sebagai berikut:
1.      Fakir   : orang-orang yang tidak mempunyai harta, tidak pula mempunyai penghasilan yang tetap.
2.      Miskin  : yaitu orang-orang yang mempunyai penghasilan yang tetap, tetapi penghasilannya itu tidak mencukupi keperluan sehari-hari (selalu dalam kekurangan).
3.      Amil     : yaitu orang-orang yang bekerja menghimpunkan dan membagikan zakat, kepada yang berhak menerimanya.
4.      Mu’allaf: yaitu orang-orang yang masih lemah hatinya seperti yang baru masuk islam. Mereka diberi zakat, supaya menjadi kuat hatinya tetap memeluk islam.
5.      Riqab   : yaitu hamba (budak) yang akan dimerdekakan oleh tuannya, jika dibayarkan uang ataupun lainnya kepadanya.
6.      Gharim: yaitu orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu membayarnya.
7.      Sabilillah: yaitu orang-orang suka rela berperang pada jalan Allah (meninggikan agama Islam) dengan tidak memandang upah atau pangkat dan sebagainya, perjuangannya semata-mata karena Allah Ta’ala atau amal-amal yang menghampirkan kepada jalan-jalan Allah, seperti mendirikan (membangun) madrasah, memperbaiki mushalla dan masjid membelikan kitab-kitab kepada alim ulama dan sebagainya.
8.      Ibnissabil: yaitu orang-orang yang bepergian jauh(musafir) yang bukan untuk peerjaan maksiat, kehabisan bekal dalam tengah perjalanannya, yaitu seperti orang-orang yang mengembara menyiarkan agama Islam dan lain-lain.[5]

B.     Zakat Fitrah: Hukum dan Hikmah
Secara etimologi zakat dapat diartikan berkembang dan berkah. Selain itu zakat juga dapat diartikan mensucikan sebagaimana dalam firman Allah SWT:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّهَا
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.[6]
Sedangkan menurut istilah syar’i zakat berarti sesuatu yang dikeluarkan atas nama harta atau badan dengan mekanisme tertentu.[7]
Setiap menjelang Idul Fitri semua orang Islam, baik yang sudah besar maupun yang masih bayi, wajib membayar zakat Fitrah.[8]  Zakat fitrah juga dinamakan zakat badan.[9] Zakat fitrah itu berupa makanan yang dimakan setiap hari (makanan pokok) dalam suatu negeri.[10]
Zakat fitrah diwajibkan pada tahun kedua Hijrah, yaitu tahun diwajibkannya puasa bulan Ramadhan untuk mensucikan prang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya.
Kewajiban Zakat Fitrah
Zakat fitrah itu wajibkan atas setiap muslim yang merdeka, yang memiliki kelebihan makanan selama satu hari satu malam sebanyak satu sha’ dari makanannya bersama keluarganya.[11] Jamaah ahli hadis telah meriwayatkan hadis Rasulullah s.a.w. dari Ibnu Umar, yang artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum kepada setiap orang yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki maupun perempuan dari kaum Muslimin.”
Jumhur ulama Salaf dan Khalaf menyatakan bahwa makna faradha pada hadis itu adalah alzama dan aujaba, sehingga zakat fitrah adalah suatu kewajiban yang bersifat pasti.[12] Kewajiban tersebut juga masuk pada keumuman firman Allah: “Dan tunaikanlah zakat” (Quran, 2:110; 4:77; 24:56)
Zakat fitrah oleh Rasulullah s.a.w. disebut dengan zakat, karenanya termasuk dalam perintah Allah tersebut.
Masa Wajibnya
Para fukaha telah sepakat bahwa zakat firah itu wajib pada akhir Ramadhan, hanya mereka berbeda pendapat batas waktu wajib itu. Menurut Tsauri, Ahmad, Ishak, dan Syafi’I dalam Al-Jadid, serta menurut satu berita juga dari Malik, waktu wajibnya itu, ialah ketika terbenamnya matahari, pada malam lebaran, karena saat itulah waktu berbuka puasa Ramadhan.
Tetapi menurut Abu Hanifah, Laits, Syafi’I dalam Al-Qadim dan menurut berita yang lain dari Malik, wakktu wajibnya ialah tatkala terbit fajar hari lebaran.
Akibat pertikaian ini, akan menyangkut bayi yang lahir sebelum dajar hari lebaran, dan yang sesudah terbenam matahari, apakah wajib dikeluarkan fitrahnya atau tidak. Menurut golongan pertama, tidak wajib, karena ia dilahirkan setelah waktu diwajibkan, sedang menurut golongan kedua, wajib, karena lahirnya sebelum waktu diwajibkan.
Ada 5 waktu untuk mengeluarkan zakat fitrah:
a.       Waktu boleh, yaitu pada permulaan bulan ramdhan.
b.      Waktu wajib, yaitu akhir ramadhan dan awal syawal.
c.       Waktu utama, yaitu setelah shalat subuh dan sebelum shalat idul fitri.
d.      Waktu makruh, yaitu setelah shalat idul fitri.
e.       Waktu haram, yaitu waktu yang dilarang untuk menunda-nunda pembayaran zakat fitrah, yaitu akhir hari raya idul fitri ketika matahari telah terbenam.[13]
Hikmah Zakat Fitrah
Disaat orang menjalankan puasa selama bulan Ramadhan telah banyak nmendapatkan kebaikan. Dan di saat pelaskanaan kewajiban ini telah membersihkan dirinya dari hal-hal yang dilarang. Serta agar kesucian ini akan sempurna sesuai syari’at, maka diwajibkanlah zakat fitrah. Sehingga pahala yang didapat oleh orang yang berpuasa bertambah besar dan balasan lebih bermanfaat.[14]
Zakat memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Karena banyak hikmah dibalik disyariatkannya zakat fitrah ini. Baik untuk orang yang mengeluarkan zakat maupun yang menerimanya. Sebagaimana riwayat ibnu Abbas  “Rasulullah s.a.w telah mewajibkan zakat fitrah, untuk membersihkan orang yang berpuasa dari omongan yang tidak ada manfaatnya dan omongan kotor, serta untuk memberi makanan pada orang-orang miskin.”[15]
Di antara hikmah dari zakat adalah:
1.      Menolong orang yang lemah dan susah agar dia dapan menunaikan kewajibannya terhadap Allah dan terhadap makhluk Allah (masyarakat);
2.     Membersihkan diri dari sifat kikir dan akhlak yang tercela serta mendidik diri agar bersifat mulia dan pemurah dengan membiasakan membayarkan amanat kepada orang yang berhak dan berkepentingan. Firman Allah Swt.
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[16] dan mensucikan[17] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[18];
3.      Sebagai ucapan syukur berterimakasih atas nikmat kekayaan yang diberikan kepadanya. Tidak syak lagi bahwa berterimakasih yang diperlihatkan oleh yang diberi kepada yang memberi adalah suatu kewajiban yang penting menurut ahli kesopanan.;
4.     Guna menjaga kejahatan-kejahatan yang akan timbul dari si miskin dan yang susah. Betapa tidak! Kita lihat sendiri sehari-hari, betapa hebatnya perjuangan hidup, berapa banyak orang yang baik-baik, tetapi menjadi pejahat besar, lalu merusak masyarakat, bangsa, dan Negara.

Artinya: Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.[19];
5.      Guna mendekatkan hubungan kasih sayang dan cinta-mencintai antara si miskin dan si kaya. Rapatnya hubungan tersebut akan membuahkan beberapa kebaikan dan kemajuan, serta berfaedah bagi kedua golongan dan masyarakat umum.[20]
Adapun hikmah zakat fitrah menurut Yusuf Qardhawi dalam buku Hukum Zakat terbagi menjadi dua, yakni:
1.      Pertama, yang berhubungan dengan orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan.
Kadangkala di dalam berpuasa itu orang-orang terjerumus pada omongan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya, padahal puasa yang sempurna itu adalah puasa pula lidah dan anggota tubuhnya. Tidak diizinkan bagi orang yang berpuasa, baik lidahnya, telinganya, matanya, hidungnya, tangannya maupun kakinya mengerjakan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, baik ucapan maupun perbuatan. Akan tetapi manusia dengan kelemahannya sebagai manusia, tidak bisa melepaskan dirinya dari hal-hal sebut sehingga datanglah kewajiban zakat fitrah di akhir bulan, yang seperti pembersih atau kamar mandi untuk membersihkan orang dari kemadharatan yang menimpa dirinya, atau membersihkan kekotoran puasanya, atau menambal segala yang kurang, sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu adakan menghilangkan segala yang kotor.[21]
2.      Kedua, yang berhubungan dengan masyarakat, menumbuhkan rada kecintaan orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkannya.
Hari Raya adalah hari gembira dan bersuka cita tahunan, karenanya kegembiraan itu harus ditebarkan pada seluruh anggota masyarakat Muslim. Si Muslim tidak akan merasa berbahagia, apabila ia melihat orang kaya dan orang yang mampu ini makan segala apa yang nikmat dan baik, sementara ia sendiri tidak mampu mendapatkan makanan pokok pada hari Ied Muslim tersebut. Maka tetaplah dengan hikmah syariat, mewajibkan sesuatu bagi pemenuhan kebutuhan orang itu dan pencegahannya dari meminta-minta. Si miskin akan merasa pula bahwa masyarakat tidak membiarkan urusannya, tidak melupakannya pada hari yang berbahagia dan agung itu. Rasulullah s.a.w. bersabda “Cukupkanlah mereka pada hari itu.”[22]

C.    Sedekah
Selain dari sedekah yang wajib (zakat dan kafarat), agama juga menganjurkan supaya bersedekah pada jalan Allah secukupnya apabila ada kepentingan-kepentingan yang memerlukan, baik pada hal-hal tertentu ataupun pada kemaslahatan umum.
Firman Allah:Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[23]adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.[24]
Dari ayat tersebut teranglah bahwa sedekah pada jalan Allah (kebaikan) itu akan mendapat ganjaran tujuh ratus kali dari harta yang disedekahkan, bahkan Allah akan melipatgandakan dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.[25]
Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa Arab shodakta yang secara bahasa berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan Islam, sedekah diartikan sebagai pemberian yang disunahkan. Tetapi, setelah kewajiban zakat disyariatkan yang dalam Al-Qur’an sering disebutkan dengan kata shadaqah maka shadaqah mempunyai dua arti. Pertama, shadaqah sunah atau tathawwu’ (sedekah) dan wajib (zakat).[26]
Sedangkan secara syara’ (terminologi), sedekah diartikan sebagai sebuah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah. Contoh memberikan sejumlah uang, beras atau benda-benda lain yang bermanfaat kepada orang lain yang membutuhkan. Berdasarkan pengertian ini, maka yang namanya infak (pemberian atau sumbangan) termasuk dalam kategori sedekah.[27]
Harta yang Paling Utama untuk Sedekah
Harta yang paling utama untuk di sedekahkan adalah kelebihan dari usaha dan hartanya untuk kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, jika memberikan sedekah dari harta yang masih dikategorikan kurang untuk memenuhi kebutuhan sendiri, dipandang dosa. Dalam hadist disebutkan yang artinya “Sedekah yang paling baik adalah sesuatu yang keluar dari orang kaya dan telah mencukupi kebutuhannya”. (Muttafaq alaih)
Kaya pada hadist diatas tidak berarti kaya dalam materi, tetapi orang yang kaya hati, yakni sabar atas kefakiran. Ada hadist yang menyebutkan “Cukup bagi seseorang dikatakan dosa apabila menghilangkan makanan pokoknya”. (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dari Abu Hurairah). Dengan kata lain sedekah disunahkan bagi seseorang atas kelebihan nafkahnya.[28]
Sedekah yang Tidak Dibolehkan
Sedekah hukumnya dibolehkan selama benda yang disedekahkan itu adalah milik sendiri dan benda itu dari segi zatnya suci dan diperoleh dengan cara yang benar, meskipun jumlahnya sedikit. Maka jika barang itu statusnya milik bersama atau orang lain, maka tidak sah benda itu untuk disedekahkan karena barang yang disedekahkan harus di dasari oleh keikhlasan dan kerelaan dari pemiliknya.
Berkaitan dengan ini, maka tidak boleh seorang istri menyedekahkan harta suaminya kecuali ada izin darinya. Tetapi, jika telah berlaku kebiasaan dalam rumah tangga seorang istri boleh menyedekahkan harta tertentu seperti makanan, maka hukumnya boleh tanpa minta izin kepada suaminya terlebih dahulu. Dalam hal ini, bukan hanya istri yang mendapatkan pahala tetapi suamipun mendapatkan pahala.
Demikian halnya, haram menyedekahkan benda yang secara zat dihukumi haram seperti babi, dan anjing. Atau barang itu diperoleh dengan cara yang diharamkan seperti mencuri, merampok atau korupsi karena hal itu bukan miliknya secara sah, dan Allah juga tidak menerima sedekah dari yang haram atau bersumber dari cara yang haram sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadist bahwa “Sesungguhnya Allah itu Suci tidak menerima kecuali yang suci pula” (HR. Muslim).
Kemudian, Rasulullah menyebutkan seorang laki-laki yang lama berkelana dengan rambutnya yang kusut, pakaiannya yang berdebu, menadahkan tangannya ke langit seraya berkata, Ya Tuhanku, Ya Tuhanku, padahal makanannya haram, pakaiannya haram, minumannya haram, dan dibesarkan dari sesuatu yang haram, maka bagaimana doanya dapat dikabulkan? (HR. Muslim).
Hal ini yang perlu diperhatikan dalam bersedekah adalah faktor kebutuhan. Orang yang memiliki sesuatu tetapi, sesuatu itu dibutuhkan untuk menafkahi keluarganya atau untuk membayar utangnya maka sesuatu itu tidak boleh untuk disedekahkan.
Sedekah hendaknya disalurkan tepat sasaran. Disunahkan dalam penyaluran zakat itu dikhususkan kepada mereka yang ahli kebaikan dan orang-orang yang benar membutuhkannya. Makruh hukumnya bagi orang yang telah menyedekahkan sesuatu kepada orang lain kemudian ia mengambil alih sesuatu itu menjadi miliknya baik dengan cara hibah atau mengganti dan haram menyebut-nyebut sedekahnya, hal ini akan membatalkan pahala sedekahnya.
Sedekah Orang yang Memiliki Hutang
Disunatkan bagi orang yang memiliki utang tidak memberikan sedekah. Lebih baik baginya membayar utang. Menurut ulama Syafi’iyah, haram hukumnya memberikan sedekah bagi orang yang memiliki utang atau tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari, antara lain didasarkan pada hadist “Cukup bagi seseorang dikatakan dosa apabila menghilangkan makanan pokoknya”. (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dari Abu Hurairah). Mereka berpendapat bahwa mebayar utang adalah wajib, maka tidak boleh meninggalkan yang wajib untuk melaksanakan hal yang sunah.[29]
Perkara yang Membatalkan Sedekah
Ada beberapa perkara yang dapat menghilangkan pahala sedekah diantaranya adalah:[30]
a.         Al-Mann (membangkit-bangkitkan) artinya menyebut-nyebut dihadapan orang banyak.
b.        Al-Adza (menyakiti) artinya sedekah itu dapat menyakiti perasaan orang lain yang menerimanya baik dengan ucapan atau perbuatan. Mereka ini tidak mendapat manfaat di dunia dari usaha-usaha mereka dan tidak pula mendapat pahala diakhirat. Poin satu dan dua didasari oleh Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 264 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)”. (Q.S.Al-Baqarah :2/264)
c.         Riya (memamerkan) artinya memperlihatkan sedekah kepada orang lain karena ingin dipuji. Bersedekah jika ada orang tetapi jika dalam keadaan sepi ia tidak mau bersedekah, ini dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 262 yang artinya “Orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, keudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak ada (pula) mereka bersedih hati”.)[31]
Bentuk-bentuk Sedekah
Dalam Islam sedekah memiliki arti luas bukan hanya berbentuk materi tetapi mencakup semua kebaikan baik bersifat fisik maupun non fisik. Berdasarkan hadist, para ulama membagi sedekah menjadi :
1.        Memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada orang lain.
2.        Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan.
3.        Berlaku adil dalam mendamaikan orang yang sedang bersengketa.
4.        Membantu orang lain yang akan menaiki kendaraan yang akan ditumpanginya.
5.        Membantu mengangkat barang orang lain kedalam kendaraannya.
6.        Menyingkirkan benda-benda yang mengganggu dari tengah jalan seperti duri, batu kayu dll.
7.        Melangkahkan kaki ke jalan Allah.
8.        Mengucapkan zikir seperti tasbih, takbir, tahmid, tahlil dan istighfar.
9.        Menyuruh orang lain berbuat baik dan mencegahnya dari kemungkaran.
10.    Membimbing orang buta, tuli dan bisu serta menunjuki orang yang meminta petunjuk tentang sesuatu seperti alamat rumah.
11.    Memberikan senyuman kepada orang lain.

Dari uraian diatas tentang sedekah maka ada beberapa perbedaan antara sedekah dengan zakat dilihat dari tiga aspek :
Ø  Orang yang melakukan, sedekah dianjurkan kepada semua orang beriman baik yang memiliki harta atau tidak karena bersedekah tidak mesti harus orang yang berharta sedangkan zakat diwajibkan kepada mereka yang memiliki harta.
Ø  Benda yang disedekahkan, benda yang disedekahkan bukan hanya terbatas pada harta secara fisik tetapi mencakup semua macam kebaikan. Adapun zakat, benda yang dikeluarkan terbatas hanya harta kekayaan secara fisik seperti uang, hasil pertanian, peternakan, perdagangan, dan hasil profesi lainnya.
Ø  Orang yang menerima, sedekah untuk semua orang tetapi zakat dikhususkan kepada delapan golongan sebagaimana telah disebutkan.[32]
Hikmah Sedekah
Sedekah memiliki nilai sosial yang tinggi. Orang yang bersedekah dengan ikhlas ia bukan hanya mendapatkan pahala tetapi juga memiliki hubungan sosial yang baik. Hikmah yang dapat dipetik ialah sebagai berikut :
1.        Orang yang bersedekah lebih mulia dibanding orang yang menerimanya sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadist “Tangan diatas lebih baik dari tangan yang dibawah”.
2.        Mempererat hubungan sesama manusia terutama kepada kaum fakir miskin, menghilangkan sifat bakhil dan egois, dan dapat membersihkan harta serta dapat meredam murka Tuhan.
3.        Orang yang bersedekah senantiasa didoakan oleh kedua malaikat. Sebagaimana hadist yang artinya “Tidaklah seorang laki-laki berada dipagi hari kecuali dua malaikat berdoa, Ya Allah berilah ganti orang yang menafkahkan (menyedekahkan) hartanya dan berikanlah kehancuran orang yang menahan hartanya”. (HR. Bukhari-Muslim).[33]




BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan  bahwa zakat disalurkan kepada delapan ashnaf yang telah di tentukan Allah dalam Quran Surah At-Taubah ayat 60, yakni fakir, miskin, amilin, muallaf, fir-riqab, gharimin, fii sabilillah, dan ibnu sabil.
Zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap muslim baik itu muslim laki-laki maupun perempuan. Banyak sekali hikmah dibalik kewajiban zakat fitrah ini. Untuk muzakki misalnya, dapat membersihkan diri yang berpuasa dari omongan yang tidak ada manfaatnya dan omongan kotor, serta untuk memberi makanan pada orang-orang miskin. Untuk mustahik, agar mereka dapat makan segala apa yang nikmat dan baik di Hari Kemenangan.
Para ulama menetapkan bahwa hukum sedekah ialah sunah. Waktu dan tempat tertentu yang lebih diutamakan yaitu lebih dianjurkan yakni pada bulan Ramadhan. Harta yang paling utama untuk di sedekahkan adalah kelebihan dari usaha dan hartanya untuk kebutuhan sehari-hari. Jika barang itu statusnya milik bersama atau orang lain, maka tidak sah benda itu untuk disedekahkan karena barang yang disedekahkan harus di dasari oleh keikhlasan dan kerelaan dari pemiliknya. Disunatkan bagi orang yang memiliki utang tidak memberikan sedekah. Lebih baik baginya membayar utang. Dalam Islam sedekah memiliki arti luas bukan hanya berbentuk materi tetapi mencakup semua kebaikan baik bersifat fisik maupun non fisik. Sedekah memiliki nilai sosial yang tinggi. Orang yang bersedekah dengan ikhlas ia bukan hanya mendapatkan pahala tetapi juga memiliki hubungan sosial yang baik.


DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahannya.  Yayasan Penyelenggara Penterjemah. Al-Qur’an. Surabaya: Mahkota Surabaya
Abidin, Zainal. 2001. Kunci Ibadah. Semarang: PT Karya Toha Putra
Al-Mahalli, Jalaludin dan Jalaludi As-Suyuti. 2010. Tafsir Jalalain Jilid 1. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Hamid, Syamsul Rijal. 2008. Buku Pintar Agama Islam. Bogor: LPKAI “Cahaya Islam”
Hawas, Abdul Wahab Sayyed dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. 2009. Fiqh Ibadah. Jakarta: Amzah
Mufraini, Muhammad Arif. 2006. Akuntansi dan Manajemen Zakat. Cet-I. Jakarta: Prenada Media Group
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2007. Fiqih Lima Mazhab. Masykur, dkk. Jakarta: Penerbit Lentera
Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Cet-49. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Sabiq, Sayyid. Tanpa Tahun. Fikih Sunnah. Bandung: PT Alma’rif
Shiddiq, Saipuddin, dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Shihab, M. Quraish. 2008. Tafsir Al-Mishbah Volume 5. Tanggerang: Penerbit Lentera Hati

Sunarto, Achmad. 2010. 161 Hikmah Dibalik Ajaran Islam. Surabaya: Karya Agung

Syafe’I, Rahmat. 2004. Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum. Bandung: Pustaka Setia

Qardawi, Yusuf. 2007. Hukum Zakat. Salman Harun, dkk.. Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa
Zuhdi, Musjfuk. 1993. Studi Islam Jilid III: Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada



[1]  Muhammad Jawad Mughniyah, 2007, Fiqih Lima Mazhab, Masykur, dkk, Jakarta, Penerbit Lentera: 189
[2] Quran, 9:60
[3] Jalaludin Al-Mahalli dan Jalaludi As-Suyuti, 2010, Tafsir Jalalain Jilid 1, Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo: 743
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 5, Penerbit Lentera Hati, Tanggerang, 2008: 629-630
[5] Zainal Abidin, Kunci Ibadah, PT Karya Toha Putra, Semarang, 2001: 115
[6] Quran,
[7] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Amzah, Jakarta,  2009: 343
[8] Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, LPKAI “Cahaya Islam”, Bogor, 2008: 395
[9] op.cit, Mughniyah, h: 195
[10] op.cit., Abidin h: 117
[11] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, PT Alma’rif, Bandung, Tanpa Tahun: 154-155
[12] Qardhawi : 921
[13] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, h: 395-402
[14] Achmad Sunarto, 161 Hikmah Dibalik Ajaran Islam, Karya Agung, Surabaya, 2010: 170
[15] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Salman Harun, dkk., PT. Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta, 2007: 925
[16] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[17] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
[18] Quran, 9: 103
[19] Quran, 3: 180
[20] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet-49,  Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2010: 217-218
[21] op.cit., Qardhawi, h:925
[22]Ibid, h: 926
[23] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
[24] Quran, 2: 261
[25] op.cit., Rasjid, h: 219
[26] Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm. 149
[27] Musjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid III : Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 82-83
[28] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, CV Pustaka Setia, Bandung, 2004: 253-254
[29] Ibid, h:255-256
[30] Op.cit., Ghazali, dkk, h:154-155
[31] Quran, 2: 262
[32] Op.cit., Shidiq, dkk., h:155-156
[33] Ibid, h: 157