MUSTAHIKIN
ZAKAT,
ZAKAT
FITRAH (HUKUM DAN HIKMAH) DAN SEDEKAH
Ditulis untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Fiqh Ibadah
Dosen Pengampu
: Dra. Hj. Wagiyem, M.Ag

Disusun oleh: Kelompok 3
Desi Mayang Sari (11624045)
Fitri Sa’banniah (11624002)
Semester/Kelas
: II/B
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI PONTIANAK
FAKULTAS
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN HUKUM
KELUARGA (AS)
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji
syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. karena atas berkat rahmat dan
hidayah-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah
in ditulis untuk memenuhi tugas kolompok yang diberikan oleh Ibu Hj. Wagiyem
selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqh Ibadah.
Dalam
kesempatan ini, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun, demi
kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya. Besar harapan penulis, agar apa
yang ada di dalam makalah ini dapat bermanfaat, baik bagi penyusun sendiri
maupun kepada pihak yang membaca. Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini, akan
menambah literatur bacaan serta dapat menambah wawasan bagi semua pihak. Aamiin.
Pontianak, 27 Maret 2017
Penulis
i
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.............................................. …………………………….
i
DAFTAR
ISI………………………………………………..................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………......................... 1
A.
Latar
Belakang…………………………………………………....................... 1
B.
Rumusan
Masalah…………………………............................... ...................... 1
C.
Tujuan
Masalah……………………………………………….......................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Mustahikin Zakat…..….………………………………….…………………...3
B.
Zakat Fitrah: Hukum dan
Hikmah……………………………………..….......6
C.
Sedekah……………………………………………………………….............11
BAB III PENUTUP
A.
Simpulan……………………………………………………………………..18
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Harta merupakan titipan Allah SWT yang pada
hakekatnya hanya dititipkan kepada kita sebagai manusia ciptaan-Nya.
Konsekuensi manusia terhadap segala bentuk titipan yang dibebankan kepadanya
mempunyai aturan-aturan Tuhan, baik dalam pengembangan maupun dalam penggunaan.
Zakat adalah ibadah wajib yang berkaitan dengan
harta benda. Seorang yang telah memenuhi syarat dituntut untuk menunaikannya
bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau terpaksa dengan
penekanan penguasa. Karena itu, agama menetapkan ‘amilin atau petugas khusus yang mengelolanya disamping menetapkan
sanksi-sanksi duniawi dan ukhrowi terhadap mereka yang enggan melaksanakannya.
Zakat diperuntukkan bagi mereka yang berhak
menerimanya, yaitu delapan golongan yang terdiri dari fakir, miskin, amil,
muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil. Zakat yang dikeluarkan untuk
kesejahteraan masyarakat.
Selain zakat ada pula ibadah maliyah yang sangat
dianjurkan, yaitu sedekah. Karena pada hakekatnya segala harta yang dimiliki
manusia adalah titipan Allah SWT, maka setiap kita manusia wajib melaksanakan
segala perintah Allah mengenai hartanya.
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan
mengenai para mustahikin zakat, hukum dan hikmah zakat fitrah dan sedekah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Siapa
saja yang tergolong para mustahikin zakat?
2. Bagaimana
hukum dan hikmah dari zakat fitrah?
3. Apa
itu sedekah?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui siapa saja yang tergolong dalam kategori mustahik zakat
2. Untuk
mengetahui hukum dan hikmah dari zakat fitrah
3. Untuk
mengetahui tentang sedekah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mustahikin
Zakat
Ketika
Allah SWT mewajibkan kepada umat Islam yang kaya (Aghnia) untuk membayar zakat,
Allah juga menentukan sasaran alokasi yang berhak menerima zakat. Masalah ini
tidak dibiarkan manusia berijtihad atau berkreasi untuk menentukan pihak-pihak
yang berhak. Karena masalah harta adalah masalah yang sangat sensitif dan dapat
menimbulkan ajang pertumpahaan darah jika tidak ditentukan langsung secara
jelas oleh Allah SWT.
Para
ulama madzhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada
delapan.[1] Dan semuanya sudah disebutkan dalam Surah
At-Taubah ayat 60.
Allah
berfirmanû,
Artinya: Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[2]
Ayat ini jelas sekali bahwa Allah
SWT telah menetapkan pihak-pihak yang berhak menerima zakat, yaitu yang biasa
disebut dengan 8 Ashnaf mustahikin zakat, mereka adalah: fakir, miskin, amilin, muallaf, fir-riqab, gharimin, fii sabilillah,
dan ibnu sabil.
“Ayat ini menyatakan bahwa zakat
tidak boleh diberikan kepada orang-orang selain mereka, tidak boleh pula
mencegah zakat dari sebagian golongan di antara mereka bilamana golongan
tersebut memang ada.”[3]
“Karena itu zakat tidak boleh dibagikan kecuali kepada yang ditetapkan-Nya itu
selama mereka ada.”[4]
Bagi yang meneliti ayat 60 dari
surat At Taubah diatas ada sedikit perbedaan pengungkapan pada empat kelompok
pertama dengan empat kelompok kedua. Empat kelompok pertama menggunakan kata
(huruf) li atau huruf lam yang berarti untuk (menunjukkan
peruntukkan), sedangkan empat kelompok kedua menggunakan huruf fi yang makna asalnya menunjukkan
keterangan tempat.
Diantara hikmah penyebutan tersebut
sebagaimana disebutkan oleh Fakhrur Razi: “Untuk empat sasaran pertama zakat
diberikan kepada mereka dan mereka dapat memanfaatkannya sesuai dengan
kehendaknya. Adapun dalam memerdekakan budak zakat diberikan untuk
menghilangkan perbudakan, sehingga tidak diberikan kepada mereka untuk dipakai
sekehendak hatinya, akan tetapi digunakan untuk menghilangkan sifat perbudakan.
Demikian juga bagi mereka yang berhutang, zakat diserahkan untuk membayar
hutang, bagi yang sedang berperang zakat digunakan untuk sarana dan prasarana
peperangan, begitu juga Ibnu Sabil”.
Simpulannya, bagi empat sasaran
pertama, zakat diserahkan kepada mereka dan mereka memiliki hak penuh untuk
menggunakannya sesuai dengan kebutuhan mereka. Sedangkan bagi empat sasaran
kedua zakat tidak diserahkan karena ada sesuatu kebutuhan atau keadaan yang
menyebabkan mereka berhak menerima zakat.
Mengenai definisi golongan atau
kelompok penerima zakat tersebut, semua ulama mazhab mempunyai pendapat yang
berbeda. Namun pada umumnnya, kedelapan asnaf
dapat diartikan sebagai berikut:
1. Fakir : orang-orang yang tidak mempunyai harta,
tidak pula mempunyai penghasilan yang tetap.
2. Miskin : yaitu orang-orang yang mempunyai penghasilan
yang tetap, tetapi penghasilannya itu tidak mencukupi keperluan sehari-hari
(selalu dalam kekurangan).
3. Amil : yaitu orang-orang yang bekerja
menghimpunkan dan membagikan zakat, kepada yang berhak menerimanya.
4. Mu’allaf:
yaitu orang-orang yang masih lemah hatinya seperti yang baru masuk islam.
Mereka diberi zakat, supaya menjadi kuat hatinya tetap memeluk islam.
5. Riqab : yaitu hamba (budak) yang akan dimerdekakan
oleh tuannya, jika dibayarkan uang ataupun lainnya kepadanya.
6. Gharim:
yaitu orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu membayarnya.
7. Sabilillah:
yaitu orang-orang suka rela berperang pada jalan Allah (meninggikan agama
Islam) dengan tidak memandang upah atau pangkat dan sebagainya, perjuangannya
semata-mata karena Allah Ta’ala atau amal-amal yang menghampirkan kepada
jalan-jalan Allah, seperti mendirikan (membangun) madrasah, memperbaiki mushalla
dan masjid membelikan kitab-kitab kepada alim ulama dan sebagainya.
8. Ibnissabil:
yaitu orang-orang yang bepergian jauh(musafir) yang bukan untuk peerjaan
maksiat, kehabisan bekal dalam tengah perjalanannya, yaitu seperti orang-orang
yang mengembara menyiarkan agama Islam dan lain-lain.[5]
B.
Zakat
Fitrah: Hukum dan Hikmah
Secara
etimologi zakat dapat diartikan berkembang dan berkah. Selain itu zakat juga
dapat diartikan mensucikan sebagaimana dalam firman Allah SWT:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّهَا
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu.[6]
Sedangkan menurut istilah syar’i zakat
berarti sesuatu yang dikeluarkan atas nama harta atau badan dengan mekanisme
tertentu.[7]
Setiap menjelang Idul Fitri semua orang Islam,
baik yang sudah besar maupun yang masih bayi, wajib membayar zakat Fitrah.[8] Zakat fitrah juga dinamakan zakat badan.[9] Zakat fitrah itu berupa makanan yang dimakan setiap hari (makanan
pokok) dalam suatu negeri.[10]
Zakat
fitrah diwajibkan pada tahun kedua Hijrah, yaitu tahun diwajibkannya puasa
bulan Ramadhan untuk mensucikan prang yang berpuasa dari ucapan kotor dan
perbuatan yang tidak ada gunanya.
Kewajiban Zakat
Fitrah
Zakat fitrah itu wajibkan atas setiap muslim yang merdeka, yang
memiliki kelebihan makanan selama satu hari satu malam sebanyak satu sha’ dari
makanannya bersama keluarganya.[11] Jamaah
ahli hadis telah meriwayatkan hadis Rasulullah s.a.w. dari Ibnu Umar, yang
artinya:
“Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan satu sha’
kurma atau satu sha’ gandum kepada setiap orang yang merdeka, hamba sahaya,
laki-laki maupun perempuan dari kaum Muslimin.”
Jumhur
ulama Salaf dan Khalaf menyatakan bahwa makna faradha pada hadis itu adalah alzama
dan aujaba, sehingga zakat fitrah
adalah suatu kewajiban yang bersifat pasti.[12]
Kewajiban tersebut juga masuk pada keumuman firman Allah: “Dan tunaikanlah
zakat” (Quran, 2:110; 4:77; 24:56)
Zakat
fitrah oleh Rasulullah s.a.w. disebut dengan zakat, karenanya termasuk dalam
perintah Allah tersebut.
Masa Wajibnya
Para fukaha telah sepakat bahwa
zakat firah itu wajib pada akhir Ramadhan, hanya mereka berbeda pendapat batas
waktu wajib itu. Menurut Tsauri, Ahmad, Ishak, dan Syafi’I dalam Al-Jadid,
serta menurut satu berita juga dari Malik, waktu wajibnya itu, ialah ketika
terbenamnya matahari, pada malam lebaran, karena saat itulah waktu berbuka
puasa Ramadhan.
Tetapi menurut Abu Hanifah, Laits,
Syafi’I dalam Al-Qadim dan menurut berita yang lain dari Malik, wakktu wajibnya
ialah tatkala terbit fajar hari lebaran.
Akibat pertikaian ini, akan
menyangkut bayi yang lahir sebelum dajar hari lebaran, dan yang sesudah
terbenam matahari, apakah wajib dikeluarkan fitrahnya atau tidak. Menurut
golongan pertama, tidak wajib, karena ia dilahirkan setelah waktu diwajibkan,
sedang menurut golongan kedua, wajib, karena lahirnya sebelum waktu diwajibkan.
Ada 5 waktu untuk mengeluarkan zakat
fitrah:
a. Waktu boleh, yaitu pada permulaan
bulan ramdhan.
b. Waktu wajib, yaitu akhir ramadhan dan awal syawal.
c. Waktu utama, yaitu setelah shalat
subuh dan sebelum shalat idul fitri.
d. Waktu makruh, yaitu setelah shalat
idul fitri.
e. Waktu haram, yaitu waktu yang
dilarang untuk menunda-nunda pembayaran zakat fitrah, yaitu akhir hari raya
idul fitri ketika matahari telah terbenam.[13]
Hikmah Zakat
Fitrah
Disaat orang menjalankan puasa
selama bulan Ramadhan telah banyak nmendapatkan kebaikan. Dan di saat
pelaskanaan kewajiban ini telah membersihkan dirinya dari hal-hal yang
dilarang. Serta agar kesucian ini akan sempurna sesuai syari’at, maka
diwajibkanlah zakat fitrah. Sehingga pahala yang didapat oleh orang yang
berpuasa bertambah besar dan balasan lebih bermanfaat.[14]
Zakat
memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Karena banyak
hikmah dibalik disyariatkannya zakat fitrah ini. Baik untuk orang yang
mengeluarkan zakat maupun yang menerimanya. Sebagaimana riwayat ibnu Abbas “Rasulullah s.a.w telah mewajibkan zakat
fitrah, untuk membersihkan orang yang berpuasa dari omongan yang tidak ada
manfaatnya dan omongan kotor, serta untuk memberi makanan pada orang-orang
miskin.”[15]
Di
antara hikmah dari zakat adalah:
1. Menolong
orang yang lemah dan susah agar dia dapan menunaikan kewajibannya terhadap
Allah dan terhadap makhluk Allah (masyarakat);
2.
Membersihkan diri dari
sifat kikir dan akhlak yang tercela serta mendidik diri agar bersifat mulia dan
pemurah dengan membiasakan membayarkan amanat kepada orang yang berhak dan
berkepentingan. Firman Allah Swt.
Artinya: Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[16]
dan mensucikan[17]
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[18];
3. Sebagai
ucapan syukur berterimakasih atas nikmat kekayaan yang diberikan kepadanya.
Tidak syak lagi bahwa berterimakasih yang diperlihatkan oleh yang diberi kepada
yang memberi adalah suatu kewajiban yang penting menurut ahli kesopanan.;
4.
Guna menjaga
kejahatan-kejahatan yang akan timbul dari si miskin dan yang susah. Betapa
tidak! Kita lihat sendiri sehari-hari, betapa hebatnya perjuangan hidup, berapa
banyak orang yang baik-baik, tetapi menjadi pejahat besar, lalu merusak
masyarakat, bangsa, dan Negara.
Artinya:
Sekali-kali janganlah orang-orang yang
bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka,
bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk
bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya
di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan
di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.[19];
5. Guna
mendekatkan hubungan kasih sayang dan cinta-mencintai antara si miskin dan si
kaya. Rapatnya hubungan tersebut akan membuahkan beberapa kebaikan dan
kemajuan, serta berfaedah bagi kedua golongan dan masyarakat umum.[20]
Adapun hikmah zakat fitrah menurut Yusuf Qardhawi
dalam buku Hukum Zakat terbagi
menjadi dua, yakni:
1. Pertama,
yang berhubungan dengan orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan.
Kadangkala
di dalam berpuasa itu orang-orang terjerumus pada omongan dan perbuatan yang
tidak ada manfaatnya, padahal puasa yang sempurna itu adalah puasa pula lidah
dan anggota tubuhnya. Tidak diizinkan bagi orang yang berpuasa, baik lidahnya,
telinganya, matanya, hidungnya, tangannya maupun kakinya mengerjakan apa yang
dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, baik ucapan maupun perbuatan. Akan tetapi
manusia dengan kelemahannya sebagai manusia, tidak bisa melepaskan dirinya dari
hal-hal sebut sehingga datanglah kewajiban zakat fitrah di akhir bulan, yang
seperti pembersih atau kamar mandi untuk membersihkan orang dari kemadharatan
yang menimpa dirinya, atau membersihkan kekotoran puasanya, atau menambal
segala yang kurang, sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu adakan menghilangkan
segala yang kotor.[21]
2. Kedua,
yang berhubungan dengan masyarakat, menumbuhkan rada kecintaan orang-orang
miskin dan orang-orang yang membutuhkannya.
Hari
Raya adalah hari gembira dan bersuka cita tahunan, karenanya kegembiraan itu
harus ditebarkan pada seluruh anggota masyarakat Muslim. Si Muslim tidak akan
merasa berbahagia, apabila ia melihat orang kaya dan orang yang mampu ini makan
segala apa yang nikmat dan baik, sementara ia sendiri tidak mampu mendapatkan
makanan pokok pada hari Ied Muslim tersebut. Maka tetaplah dengan hikmah
syariat, mewajibkan sesuatu bagi pemenuhan kebutuhan orang itu dan
pencegahannya dari meminta-minta. Si miskin akan merasa pula bahwa masyarakat
tidak membiarkan urusannya, tidak melupakannya pada hari yang berbahagia dan
agung itu. Rasulullah s.a.w. bersabda “Cukupkanlah mereka pada hari itu.”[22]
C.
Sedekah
Selain
dari sedekah yang wajib (zakat dan kafarat), agama juga menganjurkan supaya
bersedekah pada jalan Allah secukupnya apabila ada kepentingan-kepentingan yang
memerlukan, baik pada hal-hal tertentu ataupun pada kemaslahatan umum.
Firman
Allah:Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[23]adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.
dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.[24]
Dari
ayat tersebut teranglah bahwa sedekah pada jalan Allah (kebaikan) itu akan
mendapat ganjaran tujuh ratus kali dari harta yang disedekahkan, bahkan Allah
akan melipatgandakan dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.[25]
Secara
bahasa kata sedekah berasal dari bahasa Arab shodakta yang secara bahasa berarti tindakan yang benar. Pada awal
pertumbuhan Islam, sedekah diartikan sebagai pemberian yang disunahkan. Tetapi,
setelah kewajiban zakat disyariatkan yang dalam Al-Qur’an sering disebutkan
dengan kata shadaqah maka shadaqah mempunyai dua arti. Pertama, shadaqah sunah atau tathawwu’ (sedekah) dan wajib (zakat).[26]
Sedangkan secara syara’ (terminologi), sedekah diartikan
sebagai sebuah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak
menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah. Contoh memberikan sejumlah
uang, beras atau benda-benda lain yang bermanfaat kepada orang lain yang
membutuhkan. Berdasarkan pengertian ini, maka yang namanya infak (pemberian
atau sumbangan) termasuk dalam kategori sedekah.[27]
Harta yang Paling Utama untuk Sedekah
Harta
yang paling utama untuk di sedekahkan adalah kelebihan dari usaha dan hartanya
untuk kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, jika memberikan sedekah dari harta
yang masih dikategorikan kurang untuk memenuhi kebutuhan sendiri, dipandang
dosa. Dalam hadist disebutkan yang artinya “Sedekah
yang paling baik adalah sesuatu yang keluar dari orang kaya dan telah mencukupi
kebutuhannya”. (Muttafaq alaih)
Kaya
pada hadist diatas tidak berarti kaya dalam materi, tetapi orang yang kaya
hati, yakni sabar atas kefakiran. Ada hadist yang menyebutkan “Cukup bagi seseorang dikatakan dosa apabila menghilangkan
makanan pokoknya”. (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dari Abu Hurairah). Dengan
kata lain sedekah disunahkan bagi seseorang atas kelebihan nafkahnya.[28]
Sedekah yang Tidak Dibolehkan
Sedekah
hukumnya dibolehkan selama benda yang disedekahkan itu adalah milik sendiri dan
benda itu dari segi zatnya suci dan diperoleh dengan cara yang benar, meskipun
jumlahnya sedikit. Maka jika barang itu statusnya milik bersama atau orang
lain, maka tidak sah benda itu untuk disedekahkan karena barang yang
disedekahkan harus di dasari oleh keikhlasan dan kerelaan dari pemiliknya.
Berkaitan
dengan ini, maka tidak boleh seorang istri menyedekahkan harta suaminya kecuali
ada izin darinya. Tetapi, jika telah berlaku kebiasaan dalam rumah tangga
seorang istri boleh menyedekahkan harta tertentu seperti makanan, maka hukumnya
boleh tanpa minta izin kepada suaminya terlebih dahulu. Dalam hal ini, bukan
hanya istri yang mendapatkan pahala tetapi suamipun mendapatkan pahala.
Demikian
halnya, haram menyedekahkan benda yang secara zat dihukumi haram seperti babi,
dan anjing. Atau barang itu diperoleh dengan cara yang diharamkan seperti
mencuri, merampok atau korupsi karena hal itu bukan miliknya secara sah, dan
Allah juga tidak menerima sedekah dari yang haram atau bersumber dari cara yang
haram sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadist bahwa “Sesungguhnya Allah itu Suci tidak menerima kecuali yang suci pula”
(HR. Muslim).
Kemudian,
Rasulullah menyebutkan seorang laki-laki
yang lama berkelana dengan rambutnya yang kusut, pakaiannya yang berdebu,
menadahkan tangannya ke langit seraya berkata, Ya Tuhanku, Ya Tuhanku, padahal
makanannya haram, pakaiannya haram, minumannya haram, dan dibesarkan dari
sesuatu yang haram, maka bagaimana doanya dapat dikabulkan? (HR. Muslim).
Hal
ini yang perlu diperhatikan dalam bersedekah adalah faktor kebutuhan. Orang
yang memiliki sesuatu tetapi, sesuatu itu dibutuhkan untuk menafkahi
keluarganya atau untuk membayar utangnya maka sesuatu itu tidak boleh untuk
disedekahkan.
Sedekah
hendaknya disalurkan tepat sasaran. Disunahkan dalam penyaluran zakat itu
dikhususkan kepada mereka yang ahli kebaikan dan orang-orang yang benar
membutuhkannya. Makruh hukumnya bagi orang yang telah menyedekahkan sesuatu
kepada orang lain kemudian ia mengambil alih sesuatu itu menjadi miliknya baik
dengan cara hibah atau mengganti dan haram menyebut-nyebut sedekahnya, hal ini
akan membatalkan pahala sedekahnya.
Sedekah Orang yang Memiliki Hutang
Disunatkan
bagi orang yang memiliki utang tidak memberikan sedekah. Lebih baik baginya
membayar utang. Menurut ulama Syafi’iyah, haram hukumnya memberikan sedekah
bagi orang yang memiliki utang atau tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan
keluarga sehari-hari, antara lain didasarkan pada hadist “Cukup bagi seseorang dikatakan dosa apabila menghilangkan makanan
pokoknya”. (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dari Abu Hurairah). Mereka
berpendapat bahwa mebayar utang adalah wajib, maka tidak boleh meninggalkan
yang wajib untuk melaksanakan hal yang sunah.[29]
Perkara yang Membatalkan Sedekah
Ada
beberapa perkara yang dapat menghilangkan pahala sedekah diantaranya adalah:[30]
a.
Al-Mann (membangkit-bangkitkan) artinya
menyebut-nyebut dihadapan orang banyak.
b.
Al-Adza (menyakiti) artinya sedekah itu
dapat menyakiti perasaan orang lain yang menerimanya baik dengan ucapan atau
perbuatan. Mereka ini tidak mendapat manfaat di dunia dari usaha-usaha mereka
dan tidak pula mendapat pahala diakhirat. Poin satu dan dua didasari oleh
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 264 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)”.
(Q.S.Al-Baqarah :2/264)
c.
Riya (memamerkan) artinya memperlihatkan
sedekah kepada orang lain karena ingin dipuji. Bersedekah jika ada orang tetapi
jika dalam keadaan sepi ia tidak mau bersedekah, ini dijelaskan dalam surat
Al-Baqarah ayat 262 yang artinya “Orang-orang
yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, keudian mereka tidak mengiringi apa
yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak ada (pula) mereka bersedih
hati”.)[31]
Bentuk-bentuk Sedekah
Dalam
Islam sedekah memiliki arti luas bukan hanya berbentuk materi tetapi mencakup
semua kebaikan baik bersifat fisik maupun non fisik. Berdasarkan hadist, para
ulama membagi sedekah menjadi :
1.
Memberikan
sesuatu dalam bentuk materi kepada orang lain.
2.
Berbuat
baik dan menahan diri dari kejahatan.
3.
Berlaku
adil dalam mendamaikan orang yang sedang bersengketa.
4.
Membantu
orang lain yang akan menaiki kendaraan yang akan ditumpanginya.
5.
Membantu
mengangkat barang orang lain kedalam kendaraannya.
6.
Menyingkirkan
benda-benda yang mengganggu dari tengah jalan seperti duri, batu kayu dll.
7.
Melangkahkan
kaki ke jalan Allah.
8.
Mengucapkan
zikir seperti tasbih, takbir, tahmid, tahlil dan istighfar.
9.
Menyuruh
orang lain berbuat baik dan mencegahnya dari kemungkaran.
10. Membimbing orang buta, tuli dan bisu
serta menunjuki orang yang meminta petunjuk tentang sesuatu seperti alamat
rumah.
11. Memberikan senyuman kepada orang
lain.
Dari
uraian diatas tentang sedekah maka ada beberapa perbedaan antara sedekah dengan
zakat dilihat dari tiga aspek :
Ø Orang yang melakukan, sedekah
dianjurkan kepada semua orang beriman baik yang memiliki harta atau tidak karena
bersedekah tidak mesti harus orang yang berharta sedangkan zakat diwajibkan
kepada mereka yang memiliki harta.
Ø Benda yang disedekahkan, benda yang
disedekahkan bukan hanya terbatas pada harta secara fisik tetapi mencakup semua
macam kebaikan. Adapun zakat, benda yang dikeluarkan terbatas hanya harta
kekayaan secara fisik seperti uang, hasil pertanian, peternakan, perdagangan,
dan hasil profesi lainnya.
Ø Orang yang menerima, sedekah untuk
semua orang tetapi zakat dikhususkan kepada delapan golongan sebagaimana telah
disebutkan.[32]
Hikmah
Sedekah
Sedekah
memiliki nilai sosial yang tinggi. Orang yang bersedekah dengan ikhlas ia bukan
hanya mendapatkan pahala tetapi juga memiliki hubungan sosial yang baik. Hikmah
yang dapat dipetik ialah sebagai berikut :
1.
Orang yang
bersedekah lebih mulia dibanding orang yang menerimanya sebagaimana dijelaskan
dalam sebuah hadist “Tangan diatas lebih
baik dari tangan yang dibawah”.
2.
Mempererat
hubungan sesama manusia terutama kepada kaum fakir miskin, menghilangkan sifat
bakhil dan egois, dan dapat membersihkan harta serta dapat meredam murka Tuhan.
3.
Orang yang
bersedekah senantiasa didoakan oleh kedua malaikat. Sebagaimana hadist yang
artinya “Tidaklah seorang laki-laki
berada dipagi hari kecuali dua malaikat berdoa, Ya Allah berilah ganti orang
yang menafkahkan (menyedekahkan) hartanya dan berikanlah kehancuran orang yang
menahan hartanya”. (HR. Bukhari-Muslim).[33]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa zakat disalurkan kepada delapan ashnaf yang telah di tentukan Allah
dalam Quran Surah At-Taubah ayat 60, yakni fakir, miskin, amilin, muallaf, fir-riqab, gharimin,
fii sabilillah, dan ibnu sabil.
Zakat
fitrah hukumnya wajib bagi setiap muslim baik itu muslim laki-laki maupun
perempuan. Banyak sekali hikmah dibalik kewajiban zakat fitrah ini. Untuk muzakki misalnya, dapat membersihkan diri
yang berpuasa dari omongan yang tidak ada manfaatnya dan omongan kotor, serta
untuk memberi makanan pada orang-orang miskin. Untuk mustahik, agar mereka
dapat makan segala apa yang nikmat dan baik di Hari Kemenangan.
Para
ulama menetapkan bahwa hukum sedekah ialah sunah. Waktu dan tempat tertentu
yang lebih diutamakan yaitu lebih dianjurkan yakni pada bulan Ramadhan. Harta
yang paling utama untuk di sedekahkan adalah kelebihan dari usaha dan hartanya
untuk kebutuhan sehari-hari. Jika barang itu statusnya milik bersama atau orang
lain, maka tidak sah benda itu untuk disedekahkan karena barang yang disedekahkan
harus di dasari oleh keikhlasan dan kerelaan dari pemiliknya. Disunatkan bagi
orang yang memiliki utang tidak memberikan sedekah. Lebih baik baginya membayar
utang. Dalam
Islam sedekah memiliki arti luas bukan hanya berbentuk materi tetapi mencakup
semua kebaikan baik bersifat fisik maupun non fisik. Sedekah memiliki nilai
sosial yang tinggi. Orang yang bersedekah dengan ikhlas ia bukan hanya
mendapatkan pahala tetapi juga memiliki hubungan sosial yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia.
2002. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Yayasan Penyelenggara Penterjemah. Al-Qur’an.
Surabaya: Mahkota Surabaya
Abidin,
Zainal. 2001. Kunci Ibadah. Semarang:
PT Karya Toha Putra
Al-Mahalli,
Jalaludin dan Jalaludi As-Suyuti. 2010. Tafsir
Jalalain Jilid 1. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Hamid, Syamsul Rijal. 2008. Buku Pintar Agama Islam. Bogor: LPKAI
“Cahaya Islam”
Hawas, Abdul Wahab Sayyed dan Abdul Aziz
Muhammad Azzam. 2009. Fiqh Ibadah.
Jakarta: Amzah
Mufraini, Muhammad Arif. 2006. Akuntansi dan Manajemen Zakat. Cet-I.
Jakarta: Prenada Media Group
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2007. Fiqih Lima Mazhab. Masykur, dkk.
Jakarta: Penerbit Lentera
Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Cet-49. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Sabiq,
Sayyid. Tanpa Tahun. Fikih Sunnah.
Bandung: PT Alma’rif
Shiddiq, Saipuddin, dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Shihab,
M. Quraish. 2008. Tafsir Al-Mishbah
Volume 5. Tanggerang: Penerbit Lentera Hati
Sunarto, Achmad. 2010. 161 Hikmah Dibalik Ajaran Islam. Surabaya: Karya Agung
Syafe’I,
Rahmat. 2004. Fiqh Muamalah Untuk IAIN,
STAIN, PTAIS, dan Umum. Bandung: Pustaka Setia
Qardawi, Yusuf. 2007. Hukum Zakat. Salman Harun, dkk..
Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa
Zuhdi, Musjfuk. 1993. Studi Islam Jilid III: Muamalah.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
[1] Muhammad Jawad Mughniyah, 2007, Fiqih Lima Mazhab, Masykur, dkk,
Jakarta, Penerbit Lentera: 189
[2] Quran, 9:60
[3] Jalaludin Al-Mahalli
dan Jalaludi As-Suyuti, 2010, Tafsir
Jalalain Jilid 1, Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo: 743
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 5, Penerbit
Lentera Hati, Tanggerang, 2008: 629-630
[5] Zainal Abidin, Kunci Ibadah, PT Karya Toha Putra,
Semarang, 2001: 115
[6] Quran,
[7] Abdul Aziz Muhammad
Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Amzah, Jakarta, 2009: 343
[8] Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, LPKAI “Cahaya
Islam”, Bogor, 2008: 395
[9] op.cit, Mughniyah, h: 195
[10] op.cit., Abidin h: 117
[11] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, PT Alma’rif, Bandung,
Tanpa Tahun: 154-155
[12] Qardhawi : 921
[13] Abdul Aziz Muhammad
Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, h: 395-402
[14] Achmad Sunarto, 161 Hikmah Dibalik Ajaran Islam, Karya
Agung, Surabaya, 2010: 170
[15] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Salman Harun, dkk., PT.
Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta, 2007: 925
[16] Maksudnya: zakat itu
membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta
benda
[17] Maksudnya: zakat itu
menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta
benda mereka.
[18] Quran, 9: 103
[19] Quran, 3: 180
[20] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet-49, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2010: 217-218
[21] op.cit., Qardhawi, h:925
[23] Pengertian
menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan
perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
[24] Quran, 2: 261
[25] op.cit., Rasjid, h: 219
[26] Abdul Rahman Ghazali,
Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh
Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm. 149
[27] Musjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid III : Muamalah,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 82-83
[28] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan
Umum, CV Pustaka Setia, Bandung, 2004: 253-254
[29] Ibid, h:255-256
[30] Op.cit., Ghazali, dkk, h:154-155
[31] Quran, 2: 262
[32] Op.cit., Shidiq, dkk., h:155-156
[33] Ibid, h: 157