JARIMAH ZINA
DAN JARIMAH QADZAF
A.
Pendahuluan
Islam
memandang zina adalah perbuatan yang keji, dan memiliki konsekuensi hukum yang
berat, yaitu hukuman rajam bagi pelaku zina muhsan, dan dera seratus
kali bagi ghairu muhsan. Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk.”[1]
Sebagai
penyeimbang terhadap beratnya sanksi hukum zina maka menuduh laki-laki atau
wanita baik-baik melakukan zina adalah fitnah yang keji, karena jika tuduhan
itu diikuti tentunya tertuduh akan terkena konsekuensi hukum zina, dan
memunculkan anggapan bahwa tertuduh adalah orang-orang yang melakukan perbuatan
yang keji.
Islam menutup
pintu rapat-rapat terhadap orang-orang yang mencari-mencari jalan untuk membuat
malu orang lain yang baik-baik serta memperberat hukuman bagi penuduh (berbuat
zina) sehingga hukumannya hampir sama berat dengan hukuman (had) zina
itu sendiri, yaitu delapan puluh kali dera dengan tambahan tidak akan diterima
kesaksiannya buat selama-lamanya dan diberi predikat sebagai orang yang fasik.
Hukuman yang
pertama berupa hukuman fisik yang mengenai badan, yang kedua bersifat mendidik
yang berkaitan dengan dicabutnya kehormatan dirinya dan dijatuhkan martabatnya,
kesaksiannya sudah tidak dipercaya lagi dan yang ketiga yaitu bersifat
keagamaan, di mana ia diberi predikat sebagai orang fasik yang tidak loyal
kepada Allah Swt. Cukuplah kiranya hukuman ini sebagai suatu hukuman bagi
jiwa-jiwa yang sakit dan hati nurani yang gelap.
Tujuan utama
Islam dengan memberikan hukuman ini adalah demi menjaga kehormatan dan
memelihara kemuliaan umat serta membersihkan masyarakat dari omongan berbisa
yang akan merusak rumah tangga muslim agar kehormatan dan nama baiknya tetap
terpelihara serta jauh dari mulut-mulut usil yang penuh kedustaan.
Berdasarkan
pemaparan di atas, makalah ini memaparkan tentang zina dan qadzaf (tuduhan
zina).
B.
Jarimah Zina
1.
Pengertian
Zina
Zina (bahasa
Arab: الزنا, bahasa
Ibrani: ניאוף
-zanah) adalah perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan
yang tidak terikat pernikahan atau perkawinan.[2]
Definisi zina menurut Abdul Qadir
Audah, “Zina adalah persetubuhan yang
dilakukan oleh orang mukallaf terhadap
farji manusia (wanita) yang bukan
miliknya secara disepakati dengan kesengajaan”.[3]
Sedangkan menurut pendapat Hanafiyah, “Zina adalah nama dari persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan) perempuan yang masih
hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang
dilakukan orang-orang kepadanya berlaku hukum Islam, dan wanita tersebut bukan
miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya”.
Menurut
Syafi’iah, “Zina adalah memasukan dzakar
kedalam farji yang diharamkan karena
zatnya tanpa adanya syubhat dan menurut tabi’atnya menimbulkan syahwat”.
Dari
beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa zina adalah hubungan kelamin
antara seorang laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan. Tidak masalah
apakah salah seorang atau kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya
masing-masing ataupun belum menikah sama sekali.
2.
Dasar Hukum
Zina
Ayat-ayat
al-Quran di bawah ini merupakan hukum yang menyatakan secara tegas bahwa islam
mengharamkan zina.
a. an-Nur ayat 2.
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ
كُلَّ وَٰحِدٖ
مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ
وَلَا تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ
فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ
عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٞ
مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢ [4]
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”
b.
al-Isra’ [17]
ayat 32
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
3.
Had Zina dan
Macam-Macamnya
Hukuman had zina adalah sama bagi laki-laki dan
wanita. Masing- masing pelaku perzinaan itu dapat berstatus perawan atau
perjaka, atau sudah Muhsan. Perjaka atau perawan adalah seorang yang
belum pernah bersetubuh dengan wanita atau pria dalam sebuah ikatan pernikahan.[6]
Hukuman zina
itu ada dua macam, tergantung kepada keadaan pelakunya apakah ia belum
berkeluarga (ghairu muhsan) atau sudah berkeluarga (muhsan).[7]
a.
Ghairu muhsan
Zina ghairu muhsan adalah zina yang dilakukan oleh seorang laki- laki dan perempuan
yang belum berkeluarga. Hukuman untuk ghairu muhsan ini ada dua macam: dera seratus kali dan pengasingan selama satu
tahun.[8] Hal ini didasarkan atas hadis riwayat Abdullah ibn Ash-Shamit bahwa
rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Ambillah dariku diriku, ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah
memberikan jalan keluar bagi mereka (pezina). Jejaka dengan gadis, hukumannya
dera seratuskali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan
janda, hukumannya dera seratus kali dan rajam.”[9]
Hadis tersebut di atas menunjukkan bahwa kalau
si pezina belum pernah kawin, maka dia harus didera seratus kali dan diasingkan
selama satu tahun.
1)
Hukuman Dera
Hukuman dera ini
didasarkan pada Surah an-Nur ayat 2. Hukuman dera adalah hukuman had,
yaitu hukuman yang telah ditentukan oleh syara’. Oleh karena itu, hakim
tidak boleh mengurangi, menanbah, atau digantikan dengan hukuman yang lainnya,
selain ketentuan syara’ hukum dera merupak hak Allah atau hak
masyarakat, sehingga individu atau pemerintah tidak berhak memberikan
pengampunan.[10]
2)
Pengasingan
Hukuman kedua bagi pelaku zina ghair muhsan
adalah hukuman pengasingan selama satu tahun. Hukuman ini didasarkan pada hadis
riwayat Abdullah ibn Ash-Shamit. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukuman
pengasingan bukan merupakan hukuman had, melainkan hukuman ta’zir. Alasannya adalah hadis tentang
hukuman pengasingan ini dihapuskan (di mansukh)
dengan surat an-Nur ayat 2.
b.
Muhsan
Zina muhsan adalah zina yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan yang sudah menikah (bersuami atau beristri). Hukuman
untuk pelaku zina muhsan ini ada dua macam: dera seratus kali dan rajam.26
Berdasarkan Hadis yang telah
disebutkan di atas.
Hukuman rajam
adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau sejenisnya.
Hukuman rajam adalah hukuman yang
telah diakui dan diterima oleh hampir semua fuqaha, kecuali Dalam pelaksanaan hukuman rajam bagi pezina muhsan, cukup dengan
rajam saja tidak menyertakan hukuman
dera atau jilid. Hal ini menurut Imam
Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad,
hukuman untuk zina muhsan cukup dengan rajam saja dan tidak tergabung dengan jilid.
4.
Pelaksanaan
Hukuman Had Zina
Dalam melaksanakan had atas pelaku zina disyaratkan hal-hal berikut:
a.
Pelakunya adalah orang
muslim yang berakal, baligh, dan melakukan zina dengan suka rela dalam arti
tidak dipaksa.
b.
Perzinaan betul-betul
terbukti. Terbuktinya perzinaan tersebut adalah hal-hal berikut :
1)
Melalui pengakuan pelaku
yang mengatakan bahwa dalam kondisi dirinya normal bahwa ia telah berzina.
2)
Melalui kesaksian empat
saksi yang bersaksi bahwa mereka melihat pelaku berzina dan menyaksikan
kemaluannya di kemaluan wanita yang ia zinahi seperti masuknya alat cetak ke
botol celak atau seperti masuknya tali kedalam sumur.
3)
Dengan terlihatnya
kehamilan pada seorang wanita dan ia tidak bisa mendatangkan barang bukti yang
menghapus had darinya, misalnya ia hamil karena diperkosa atau digauli
karena syubhat (salah sasaran) atau karena tidak mengetahui keharaman zina.
c.
Pelaku tidak menarik
kembali pengakuannya.
Hukuman dera
atau jilid dilaksanakan dengan menggunakan cambuk, dengan pukulan yang sedang
sebanyak 100 (seratus) kali cambukan. Disyaratkan cambuk tersebut harus kering,
tidak boleh basah, karena bisa mengakibatkan luka. Di samping itu, juga
disyaratkan ekor/ujung cambuk tersebut tidak boleh lebih dari satu. Apabila
ekor cambuk lebih dari satu ekor, jumlah pukulan dihitung sesuai dengan
banyaknya ekor cambuk tersebut. Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah,
apabila yang terhukum adalah seorang laki-laki, maka bajunya harus dibuka
kecuali yang menutupi auratnya. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad,
orang yang terhukum tetap dalam keadaan berpakaian.
Hukuman dera
tidak boleh menimbulkan bahaya terhadap orang yang terhukum. Karena hukuman itu
bersifat pencegahan. Oleh karena itu hukuman tidak boleh dilakukan pada saat
cuaca panas atau cuaca dingin. Hukuman tidak boleh dilakukan pada orang yang
sakit sampai ia sembuh, dan wanita yang hamil sampai ia melahirkan.
Untuk pelaksanaan
hukuman rajam, eksekusi bagi pelaku zina sebagai berikut; apabila orang yang
akan dirajam itu laki-laki, hukuman dilaksanakan dengan berdiri tanpa
dimasukkan ke dalam lubang dan tanpa dipegang atau diikat, hal ini didasarkan hadis
Rasulullah saw, ketika merajam Ma’iz dan orang Yahudi.[11] Apabila
orang yang dirajam adalah seorang wanita, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i, ia boleh dipendam sampai batas dada, karena cara demikian itu lebih
menutup auratnya. Adapun menurut Madzhab Maliki dan pendapat yang rajih
(jelas/kuat) dalam Madzhab Hanbali, wanita juga tidak dipendam, sama halnya
dengan laki-laki.[12]
Hukum rajam
adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau benda-benda lain.
Menurut Imam Abu Hanifah, lemparan pertama dilakukan oleh para saksi apabila
pembuktiannya dengan saksi. Setelah itu diikuti oleh imam atau pejabat yang
ditunjuknya dan diteruskan oleh masyarakat.
5.
Pembuktian dalam Had Zina
Pelaku jarimah zina dapat dikenai hukuman had, apabila perbuatan
telah dapat dibuktikan. Untuk had zina ada tiga macam cara pembuktikan, yaitu;
a.
Saksi
Para ulama
telah sepakat bahwa jarimah zina tidak bisa dibuktikan kecuali dengan empat
orang saksi. Apabila saksi itu kurang dari empat maka persaksian tersebut tidak
dapat diterima. Hal ini apabila pembuktianya itu hanya berupa saksi semata-mata
dan tidak ada bukti-bukti yang lain.
b.
Pengakuan
Untuk sebuah
pembuktian dengan pengakuan, apabila orang yang mengaku berzina mencabut
pengakuannya, maka hukuman had menjadi gugur, karena pencabutan tersebut
menimbulkan syubhat.
c.
Qarinah
Qarinah atau tanda yang dianggap sebagai alat pembuktian dalam jarimah zina adalah
timbulnya kehamilan pada seorang wanita yang tidak bersuami, atau tidak
diketahui suaminya. Dasar penggunaan qarinah sebagai alat bukti untuk
jarimah zina adalah ucapan sahabat dan perbuatannya. Dalam sebuah pidatonya
Syaidina Umar berkata:
“Dan sesungguhnya rajam wajib dilaksanakan berdasarkan kitabullah atas
orang yang berzina, baik laki laki maupun perempuan apabila ia muhsan, jika
terdapat keterangan (saksi) atau terjadi kehamilan, atau ada pengakuan.”[13]
C.
Jarimah Qadzaf
1.
Pengertian
Jarimah Qadzaf
Salah satu
delik pidana dalam hukum pidana islam yaitu qadzaf. Secara bahasa makna
kata qadzaf adalah الر مي
بالحجارة ونحوها artinya
melempar dengan batu dan lainnya. Sedangkan secara
istilah hukum islam
adalah tuduhan terhadap seseorang bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan.[14]
Ulama fikih
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan qadzaf adalah menasabkan seorang
anak Adam kepada lelaki lain disebabkan zina, atau memutuskan keturunan seorang
muslim. Apabila seseorang mengatakan kepada orang lain, engkau pezina; engkau
anak zina atau engkau bukan anak ayahmu, maka seluruh ungkapan ini disebut
sebagai qadzaf.[15]
Jadi dapat
diartikan bahwa qadzaf ialah
menuduh orang lain berzina. Misalnya seseorang mengatakan, “Wahai orang yang
berzina,” atau lain sebagainya yang dari pernyataan tersebut dipaham bahwa
seseorang telah menuduh orang lain berzina.
Menurut hukum
islam, ada dua jenis qadzaf, yaitu, qadzaf yang pelakunya wajib
dijatuhi hukuman hudud dan qadzaf yang pelakunya wajib dijatuhi hukuman
takzir. Qadzaf yang pelakunya wajib dijatuhi hukuman hudud adalah
“Menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang menghilangkan nasabnya”.
2.
Dasar Hukum
Dasar hukum qadzaf
dijelaskan dalam Firman Alah;
وَٱلَّذِينَ
يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ
ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ
وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ
وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤ [16]
Artinya: “Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ
ٱلۡغَٰفِلَٰتِ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ لُعِنُواْ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِ وَلَهُمۡ
عَذَابٌ عَظِيم ٢٣
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab
yang besar”.
Hadis Nabi
عن عائشة رضي
الله عنه, قالت: لما نزل عذ ري قام رسول الله صلي الله عليه وسلم على المنبر, فذكر
ذلك وتلا القراَن, فلما نزل أمر برجلين وامرأة فضربوا الحد .
( أخرجه أحمد
والأربعة وأشارإليه البخاري)
Artinya :“Dari Aisyah. Ia berkata: Tak kala turun (ayat) pembebasanku.
Rasulullah saw berdiri di atas mimbar, lalu ia sebut yang demikian dan membaca
Quran. Maka tak kala turun dari mimbar ia perintah supaya (didera) dua orang
laki-laki dan seseorang perempuan, lalu dipukul mereka dengan dera”. (Riwayat
oleh Ahmad dan Imam Empat, dan Bukhari telah menyebutnya dengan isyarat).[17]
3.
Pembuktian
Jarimah Qadzaf
Jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan tiga macam alat bukti, yaitu
sebagai berikut:
a.
Saksi
Saksi merupakan salah satu alat bukti untuk jarimah qadzaf. Syarat-syarat
saksi sama dengan syarat saksi dalam jarimah zina, yaitu baligh, berakal, dapat
berbicara, adil, islam, dan tidak penghalang menjadi saksi.
b.
Pengakuan
Jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku
(penuduh), bahwa ia menuduh orang lain melakukan zina. Pengakuan ini cukup
dinyatakan satu kali dalam majlis pengadilan.
c.
Sumpah
Menurut imam Syafi’i, jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah
apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh
(korban) meminta kepada orang yang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa ia
tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan bersumpah maka jarimah qadzaf
dibuktikan dengan ke engganannya untuk bersumpah tersebut. Demikian pula
sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh (korban)
bahwa penuduh benar melakukan penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan
melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari
hukuman had qadzaf.[18]
Akan tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membenarkan dengan sumpah,
sebagaimana yang dikemukakan oleh madzhab-madzhab Syafi’i. Sebagian ulama
Hanafiah pendapatnya sama dengan madzhab Syafi’i, yaitu membenarkan pembuktian
dengan sumpah, tetapi sebagian lagi tidak membenarkannya.[19]
4. Hukuman Jarimah Qadzaf
Hukuman untuk jarimah qadzaf ada 2 macam, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman pokok, yaitu
dera sebanyak 80 kali. Hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman
yang sudah ditetapkan oleh syara’, sehingga ulil amri tidak
mempunyai hak untuk memberikan pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh,
para ulama berbeda pendapat. Menurut madzhab Syafi’i orang yang dituduh berhak
memberikan ampunan, karena hak manusia lebih dominan dari pada hak Allah. Sedangkan
menurut madzhab Hanafi bahwa korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena
dalam jarimah qadzaf lebih dominan daripada hak manusia.[20]
b. Hukuman tambahan,
yaitu tidak diterima persaksiannya. Kedua macam hukuman tersebut didasarkan
pada fiman Allah dalam surah an-Nur ayat 4.
5. Hal-hal yang Menggugurkan Hukuman
Hukuman qadzaf
dapat gugur karena hal-hal berikut ini:
a. Para saksi yang
diajukan oleh orang yang dituduh mencabut kembali persaksiannya.
b. Orang yang dituduh
melakukan zina membenarkan tuduhan penuduh.[21]
D.
Penutup
Dari pemaparan
di atas dapat disimpulkan bahwa zina
adalah hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan di luar ikatan
pernikahan. Tidak masalah apakah salah seorang atau kedua belah pihak telah
memiliki pasangan hidupnya masing-masing ataupun belum menikah sama sekali. Zina
merupakan
suatu perbuatan yang sangat terlarang dan perbuatan yang haram. Oleh karena itu
kita dilarang mendekatinya apalagi melakukannya. Jika kita melakukan perbuatan
tersebutmaka kita akan dikenakan sanksi yang sangat berat, seperti dirajam
sampai mati. Didera seratus kali dan hukuman pengasingan.
Qadzaf adalah
menuduh orang lain berbuat zina, baik tuduhan itu melalui pernyataan yang jelas
maupun menyatakan anak seseorang bukan keturunan ayahnya. Perbuatan ini
termasuk dosa besar yang dapat merusak masyarakat dan merobohkan
tiang-tiangnya. Jika seorang qadhif (orang yang menuduh) ingin selamat
(dari hukuman dera) maka ia harus menghadirkan empat orang saksi laki-laki yang
adil; jika tidak mampu maka had baginya adalah didera sebanyak 80
(delapan puluh kali); tidak diterima kesaksiannya untuk selamanya dan termasuk
golongan orang fasik.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Al-Qadir Audah. Tt. At-Tasyri’
Al-Jinaiy Al-Islamiy. Juz II. Dar Al-Kitab, Al-‘Arabi. Beirut: tnp.
Afifah, Nurul. 2015. “Qadzaf
Menurut Hukum Islam dan KHI”. Istinbath: Jurnal Hukum.
Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Departemen Agama
Republik Indonesia. 2002. Al-Qur’an dan
Terjemahannya. Yayasan Penyelenggara
Penterjemah. Al-Qur’an. Surabaya: Mahkota Surabaya.
Hakim,
Rahmad. Hukum Pidana Islam. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Hassan. 2002. Terjemah
Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-Asqolani. Bandung: Diponegoro.
al-Mawardi, 2000.Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan dalam
Takaran Islam. Jakarta: Gema Insani.
Muslih, Ahmad
Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988), hlm. 453.
[3] Abd Al-Qadir
Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Dar Al-Kitab, Al-‘Arabi
(Beirut: tnp, tt), hlm. 349.
[6] al-Mawardi, Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam (Jakarta:
Gema Insani, 2000), hlm. 429.
[17] A. Hassan. Terjemah Bulughul-Marom Ibnu
Hajar Al-Asqolani (Bandung: Diponegoro, 2002), hlm. 561.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar