Selasa, 24 April 2018

Makalah Fiqh Jinayah: JARIMAH ZINA DAN JARIMAH QADZAF


JARIMAH ZINA DAN JARIMAH QADZAF
A.  Pendahuluan
Islam memandang zina adalah perbuatan yang keji, dan memiliki konsekuensi hukum yang berat, yaitu hukuman rajam bagi pelaku zina muhsan, dan dera seratus kali bagi ghairu muhsan. Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”[1]
Sebagai penyeimbang terhadap beratnya sanksi hukum zina maka menuduh laki-laki atau wanita baik-baik melakukan zina adalah fitnah yang keji, karena jika tuduhan itu diikuti tentunya tertuduh akan terkena konsekuensi hukum zina, dan memunculkan anggapan bahwa tertuduh adalah orang-orang yang melakukan perbuatan yang keji.
Islam menutup pintu rapat-rapat terhadap orang-orang yang mencari-mencari jalan untuk membuat malu orang lain yang baik-baik serta memperberat hukuman bagi penuduh (berbuat zina) sehingga hukumannya hampir sama berat dengan hukuman (had) zina itu sendiri, yaitu delapan puluh kali dera dengan tambahan tidak akan diterima kesaksiannya buat selama-lamanya dan diberi predikat sebagai orang yang fasik.
Hukuman yang pertama berupa hukuman fisik yang mengenai badan, yang kedua bersifat mendidik yang berkaitan dengan dicabutnya kehormatan dirinya dan dijatuhkan martabatnya, kesaksiannya sudah tidak dipercaya lagi dan yang ketiga yaitu bersifat keagamaan, di mana ia diberi predikat sebagai orang fasik yang tidak loyal kepada Allah Swt. Cukuplah kiranya hukuman ini sebagai suatu hukuman bagi jiwa-jiwa yang sakit dan hati nurani yang gelap.
Tujuan utama Islam dengan memberikan hukuman ini adalah demi menjaga kehormatan dan memelihara kemuliaan umat serta membersihkan masyarakat dari omongan berbisa yang akan merusak rumah tangga muslim agar kehormatan dan nama baiknya tetap terpelihara serta jauh dari mulut-mulut usil yang penuh kedustaan.
Berdasarkan pemaparan di atas, makalah ini memaparkan tentang zina dan qadzaf (tuduhan zina).

B.  Jarimah Zina
1.      Pengertian Zina
Zina (bahasa Arab: الزنا, bahasa Ibrani: ניאוף -zanah) adalah perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan atau perkawinan.[2]
Definisi zina menurut Abdul Qadir Audah, “Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukallaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan”.[3]
Sedangkan menurut pendapat Hanafiyah, “Zina adalah nama dari persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan) perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan orang-orang kepadanya berlaku hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya”.
Menurut Syafi’iah,  “Zina adalah memasukan dzakar kedalam farji yang diharamkan karena zatnya tanpa adanya syubhat dan menurut tabi’atnya menimbulkan syahwat”.
Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa zina adalah hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan. Tidak masalah apakah salah seorang atau kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya masing-masing ataupun belum menikah sama sekali.

2.      Dasar Hukum Zina
Ayat-ayat al-Quran di bawah ini merupakan hukum yang menyatakan secara tegas bahwa islam mengharamkan zina.




a.    an-Nur ayat 2.
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ وَلَا تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٞ مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢ [4]
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”

b.    al-Isra’ [17] ayat 32
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا ٣٢[5]
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”

3.      Had Zina dan Macam-Macamnya
Hukuman had zina adalah sama bagi laki-laki dan wanita. Masing- masing pelaku perzinaan itu dapat berstatus perawan atau perjaka, atau sudah Muhsan. Perjaka atau perawan adalah seorang yang belum pernah bersetubuh dengan wanita atau pria dalam sebuah ikatan pernikahan.[6]
Hukuman zina itu ada dua macam, tergantung kepada keadaan pelakunya apakah ia belum berkeluarga (ghairu muhsan) atau sudah berkeluarga (muhsan).[7]
a.        Ghairu muhsan
Zina ghairu muhsan adalah zina yang dilakukan oleh seorang laki- laki dan perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk ghairu muhsan ini ada dua macam: dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun.[8] Hal ini didasarkan atas hadis riwayat Abdullah ibn Ash-Shamit bahwa rasulullah saw bersabda yang artinya:
Ambillah dariku diriku, ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar bagi mereka (pezina). Jejaka dengan gadis, hukumannya dera seratuskali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda, hukumannya dera seratus kali dan rajam.”[9]
Hadis tersebut di atas menunjukkan bahwa kalau si pezina belum pernah kawin, maka dia harus didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun.
1)   Hukuman Dera
Hukuman dera ini didasarkan pada Surah an-Nur ayat 2. Hukuman dera adalah hukuman had, yaitu hukuman yang telah ditentukan oleh syara’. Oleh karena itu, hakim tidak boleh mengurangi, menanbah, atau digantikan dengan hukuman yang lainnya, selain ketentuan syara’ hukum dera merupak hak Allah atau hak masyarakat, sehingga individu atau pemerintah tidak berhak memberikan pengampunan.[10]
2)   Pengasingan
Hukuman kedua bagi pelaku zina ghair muhsan adalah hukuman pengasingan selama satu tahun. Hukuman ini didasarkan pada hadis riwayat Abdullah ibn Ash-Shamit. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukuman pengasingan bukan merupakan hukuman had, melainkan hukuman ta’zir. Alasannya adalah hadis tentang hukuman pengasingan ini dihapuskan (di mansukh) dengan surat an-Nur ayat 2.

b.      Muhsan
Zina muhsan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah menikah (bersuami atau beristri). Hukuman untuk pelaku zina muhsan ini ada dua macam: dera seratus kali dan rajam.26  Berdasarkan Hadis yang telah disebutkan di atas.
Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau sejenisnya. Hukuman rajam adalah hukuman yang telah diakui dan diterima oleh hampir semua fuqaha, kecuali Dalam pelaksanaan hukuman rajam bagi pezina muhsan, cukup dengan rajam saja tidak menyertakan hukuman dera atau jilid. Hal ini menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, hukuman untuk zina muhsan cukup dengan rajam saja dan tidak tergabung dengan jilid.

4.      Pelaksanaan Hukuman Had Zina
Dalam melaksanakan had atas pelaku zina disyaratkan hal-hal berikut:
a.       Pelakunya adalah orang muslim yang berakal, baligh, dan melakukan zina dengan suka rela dalam arti tidak dipaksa.
b.      Perzinaan betul-betul terbukti. Terbuktinya perzinaan tersebut adalah hal-hal berikut :
1)      Melalui pengakuan pelaku yang mengatakan bahwa dalam kondisi dirinya normal bahwa ia telah berzina.
2)      Melalui kesaksian empat saksi yang bersaksi bahwa mereka melihat pelaku berzina dan menyaksikan kemaluannya di kemaluan wanita yang ia zinahi seperti masuknya alat cetak ke botol celak atau seperti masuknya tali kedalam sumur.
3)      Dengan terlihatnya kehamilan pada seorang wanita dan ia tidak bisa mendatangkan barang bukti yang menghapus had darinya, misalnya ia hamil karena diperkosa atau digauli karena syubhat (salah sasaran) atau karena tidak mengetahui keharaman zina.
c.       Pelaku tidak menarik kembali pengakuannya.

Hukuman dera atau jilid dilaksanakan dengan menggunakan cambuk, dengan pukulan yang sedang sebanyak 100 (seratus) kali cambukan. Disyaratkan cambuk tersebut harus kering, tidak boleh basah, karena bisa mengakibatkan luka. Di samping itu, juga disyaratkan ekor/ujung cambuk tersebut tidak boleh lebih dari satu. Apabila ekor cambuk lebih dari satu ekor, jumlah pukulan dihitung sesuai dengan banyaknya ekor cambuk tersebut. Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, apabila yang terhukum adalah seorang laki-laki, maka bajunya harus dibuka kecuali yang menutupi auratnya. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, orang yang terhukum tetap dalam keadaan berpakaian. 
Hukuman dera tidak boleh menimbulkan bahaya terhadap orang yang terhukum. Karena hukuman itu bersifat pencegahan. Oleh karena itu hukuman tidak boleh dilakukan pada saat cuaca panas atau cuaca dingin. Hukuman tidak boleh dilakukan pada orang yang sakit sampai ia sembuh, dan wanita yang hamil sampai ia melahirkan.
Untuk pelaksanaan hukuman rajam, eksekusi bagi pelaku zina sebagai berikut; apabila orang yang akan dirajam itu laki-laki, hukuman dilaksanakan dengan berdiri tanpa dimasukkan ke dalam lubang dan tanpa dipegang atau diikat, hal ini didasarkan hadis Rasulullah saw, ketika merajam Ma’iz dan orang Yahudi.[11] Apabila orang yang dirajam adalah seorang wanita, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, ia boleh dipendam sampai batas dada, karena cara demikian itu lebih menutup auratnya. Adapun menurut Madzhab Maliki dan pendapat yang rajih (jelas/kuat) dalam Madzhab Hanbali, wanita juga tidak dipendam, sama halnya dengan laki-laki.[12]
Hukum rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau benda-benda lain. Menurut Imam Abu Hanifah, lemparan pertama dilakukan oleh para saksi apabila pembuktiannya dengan saksi. Setelah itu diikuti oleh imam atau pejabat yang ditunjuknya dan diteruskan oleh masyarakat.

5.      Pembuktian dalam Had Zina
Pelaku jarimah zina dapat dikenai hukuman had, apabila perbuatan telah dapat dibuktikan. Untuk had zina ada tiga macam cara pembuktikan, yaitu;
a.    Saksi
Para ulama telah sepakat bahwa jarimah zina tidak bisa dibuktikan kecuali dengan empat orang saksi. Apabila saksi itu kurang dari empat maka persaksian tersebut tidak dapat diterima. Hal ini apabila pembuktianya itu hanya berupa saksi semata-mata dan tidak ada bukti-bukti yang lain.
b.    Pengakuan
Untuk sebuah pembuktian dengan pengakuan, apabila orang yang mengaku berzina mencabut pengakuannya, maka hukuman had menjadi gugur, karena pencabutan tersebut menimbulkan syubhat.
c.    Qarinah
Qarinah atau tanda yang dianggap sebagai alat pembuktian dalam jarimah zina adalah timbulnya kehamilan pada seorang wanita yang tidak bersuami, atau tidak diketahui suaminya. Dasar penggunaan qarinah sebagai alat bukti untuk jarimah zina adalah ucapan sahabat dan perbuatannya. Dalam sebuah pidatonya Syaidina Umar berkata:
“Dan sesungguhnya rajam wajib dilaksanakan berdasarkan kitabullah atas orang yang berzina, baik laki laki maupun perempuan apabila ia muhsan, jika terdapat keterangan (saksi) atau terjadi kehamilan, atau ada pengakuan.”[13]

C.  Jarimah Qadzaf
1.      Pengertian Jarimah Qadzaf
Salah satu delik pidana dalam hukum pidana islam yaitu qadzaf. Secara bahasa makna kata qadzaf adalah الر مي بالحجارة ونحوها  artinya melempar dengan batu dan lainnya. Sedangkan secara istilah hukum islam adalah tuduhan terhadap seseorang bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan.[14]
Ulama fikih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan qadzaf adalah menasabkan seorang anak Adam kepada lelaki lain disebabkan zina, atau memutuskan keturunan seorang muslim. Apabila seseorang mengatakan kepada orang lain, engkau pezina; engkau anak zina atau engkau bukan anak ayahmu, maka seluruh ungkapan ini disebut sebagai qadzaf.[15]
Jadi dapat diartikan bahwa qadzaf  ialah menuduh orang lain berzina. Misalnya seseorang mengatakan, “Wahai orang yang berzina,” atau lain sebagainya yang dari pernyataan tersebut dipaham bahwa seseorang telah menuduh orang lain berzina.
Menurut hukum islam, ada dua jenis qadzaf, yaitu, qadzaf yang pelakunya wajib dijatuhi hukuman hudud dan qadzaf yang pelakunya wajib dijatuhi hukuman takzir. Qadzaf yang pelakunya wajib dijatuhi hukuman hudud adalah “Menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang menghilangkan nasabnya”.






2.      Dasar Hukum
Dasar hukum qadzaf dijelaskan dalam Firman Alah;
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤ [16]
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ٱلۡغَٰفِلَٰتِ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ لُعِنُواْ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيم ٢٣
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar”.

Hadis Nabi
عن عائشة رضي الله عنه, قالت: لما نزل عذ ري قام رسول الله صلي الله عليه وسلم على المنبر, فذكر ذلك وتلا القراَن, فلما  نزل أمر برجلين وامرأة فضربوا الحد .
( أخرجه أحمد والأربعة وأشارإليه البخاري)      
Artinya :“Dari Aisyah. Ia berkata: Tak kala turun (ayat) pembebasanku. Rasulullah saw berdiri di atas mimbar, lalu ia sebut yang demikian dan membaca Quran. Maka tak kala turun dari mimbar ia perintah supaya (didera) dua orang laki-laki dan seseorang perempuan, lalu dipukul mereka dengan dera”. (Riwayat oleh Ahmad dan Imam  Empat, dan Bukhari telah menyebutnya dengan isyarat).[17]

3.      Pembuktian Jarimah Qadzaf
Jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan tiga macam alat bukti, yaitu sebagai berikut:

a.       Saksi
Saksi merupakan salah satu alat bukti untuk jarimah qadzaf. Syarat-syarat saksi sama dengan syarat saksi dalam jarimah zina, yaitu baligh, berakal, dapat berbicara, adil, islam, dan tidak penghalang menjadi saksi.
b.      Pengakuan
Jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku (penuduh), bahwa ia menuduh orang lain melakukan zina. Pengakuan ini cukup dinyatakan satu kali dalam majlis pengadilan.
c.       Sumpah
Menurut imam Syafi’i, jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang yang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan bersumpah maka jarimah qadzaf dibuktikan dengan ke engganannya untuk bersumpah tersebut. Demikian pula sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh (korban) bahwa penuduh benar melakukan penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman had qadzaf.[18]
Akan tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membenarkan dengan sumpah, sebagaimana yang dikemukakan oleh madzhab-madzhab Syafi’i. Sebagian ulama Hanafiah pendapatnya sama dengan madzhab Syafi’i, yaitu membenarkan pembuktian dengan sumpah, tetapi sebagian lagi tidak membenarkannya.[19]

4.      Hukuman Jarimah Qadzaf
Hukuman untuk jarimah qadzaf ada 2 macam, yaitu sebagai berikut:
a.       Hukuman pokok, yaitu dera sebanyak 80 kali. Hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditetapkan oleh syara’, sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama berbeda pendapat. Menurut madzhab Syafi’i orang yang dituduh berhak memberikan ampunan, karena hak manusia lebih dominan dari pada hak Allah. Sedangkan menurut madzhab Hanafi bahwa korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena dalam jarimah qadzaf lebih dominan daripada hak manusia.[20]
b.      Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya. Kedua macam hukuman tersebut didasarkan pada fiman Allah dalam surah an-Nur ayat 4.

5.      Hal-hal yang Menggugurkan Hukuman
Hukuman qadzaf dapat gugur karena hal-hal berikut ini:
a.    Para saksi yang diajukan oleh orang yang dituduh mencabut kembali persaksiannya.
b.    Orang yang dituduh melakukan zina membenarkan tuduhan penuduh.[21]

D.  Penutup
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa zina adalah hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan. Tidak masalah apakah salah seorang atau kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya masing-masing ataupun belum menikah sama sekali. Zina merupakan suatu perbuatan yang sangat terlarang dan perbuatan yang haram. Oleh karena itu kita dilarang mendekatinya apalagi melakukannya. Jika kita melakukan perbuatan tersebutmaka kita akan dikenakan sanksi yang sangat berat, seperti dirajam sampai mati. Didera seratus kali dan hukuman pengasingan.
Qadzaf adalah menuduh orang lain berbuat zina, baik tuduhan itu melalui pernyataan yang jelas maupun menyatakan anak seseorang bukan keturunan ayahnya. Perbuatan ini termasuk dosa besar yang dapat merusak masyarakat dan merobohkan tiang-tiangnya. Jika seorang qadhif (orang yang menuduh) ingin selamat (dari hukuman dera) maka ia harus menghadirkan empat orang saksi laki-laki yang adil; jika tidak mampu maka had baginya adalah didera sebanyak 80 (delapan puluh kali); tidak diterima kesaksiannya untuk selamanya dan termasuk golongan orang fasik.













DAFTAR PUSTAKA
Abd Al-Qadir Audah. Tt. At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy. Juz II. Dar Al-Kitab, Al-‘Arabi. Beirut: tnp.
Afifah, Nurul. 2015. “Qadzaf Menurut Hukum Islam dan KHI”. Istinbath: Jurnal Hukum.
Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahannya.  Yayasan Penyelenggara Penterjemah. Al-Qur’an. Surabaya: Mahkota Surabaya.
Hakim, Rahmad. Hukum Pidana Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Hassan. 2002. Terjemah Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-Asqolani. Bandung: Diponegoro.
al-Mawardi, 2000.Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam. Jakarta: Gema Insani.
Muslih, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988







[1] al-Isra’ [17]: 32.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), hlm. 453.
[3] Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Dar Al-Kitab, Al-‘Arabi (Beirut: tnp, tt),  hlm. 349.
[4] an-Nur [24]: 2.
[5] al-Isra’ [17]: 32.
[6] al-Mawardi, Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam (Jakarta: Gema Insani, 2000), hlm. 429.
[7] Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 29.
[8] Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, hlm. 33.
[9] HR. Muslim, Abu Dawud dan Timdzi.
[10] Rahmad Hakim, Hukum Pidana Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 82.
[11] Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, hlm. 57.
[12] Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, hlm. 58.
[13] Mutafaq Alaih.
[14] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 53.
[15] Nurul Afifah, “Qadzaf Menurut Hukum Islam dan KHI”, Istinbath: Jurnal Hukum, 2015, hlm. 3.
[16] An-Nur [24]: 4.
[17] A. Hassan. Terjemah Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-Asqolani (Bandung: Diponegoro, 2002), hlm. 561.
[18] Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, hlm. 482.
[19] Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, hlm. 69.
[20] Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, hlm. 491.
[21] Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy al-Islamiy, hlm. 495.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar